FIQIH WANITA
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah: ‘Haidh itu adalah
kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang
dalam keadaan haidh (jangan menyetubuhinya); dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci (sebelum mandi-wajib). Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka dari sisi yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [QS Al-Baqarah (2):222]
Ada tiga macam darah yang keluar dari vagina seorang wanita:
1. Darah Haidh
2. Darah Nifas
3. Darah Istihâdhah
Darah Haidh
Darah yang keluar dari vagina seorang wanita dalam masa beberapa hari
setiap bulan pada umumnya adalah darah haidh. Wanita yang melihat darah
tersebut dinamakan wanita haidh.
Haidh terjadi dalam masa beberapa hari setiap bulan yang menimpa kaum
wanita umumnya. Akan tetapi, dapat dimungkinkan bahwa haidh pada
sebagian wanita terjadi dua kali dalam sebulan, atau sekali untuk jangka
waktu beberapa bulan.
Mengapa Haidh?
Petunjuk sistem atau tatanan termasuk bukti keesaan dan makrifat Allah.
Bukanlah sistem atau tatanan yang dimaksudkan itu berurutan (sistem
ranking). Tetapi keselarasan, yakni keselarasan bagian-bagian yang
berbeda dalam wujud yang satu untuk mencapai tujuan yang satu. Seperti
itu pula, bagian-bagian pada jam dan cara bekerjanya yang berbeda-beda,
tetapi seluruhnya bekerja dengan sangat serasi dan teratur, sehingga
memberitahukan kita terjadinya masa.
Demikian halnya berkenaan dengan sistem penciptaan. Di mana dapat
diperlihatkan contoh-contoh tatanan yang serasi dan teratur, di
antaranya:
1. Ketika
menyuap makanan ke dalam mulut, semua sarana yang memiliki hubungan
bekerja sebagai persiapan makanan untuk dicernak dan proses pencernakan
makanan dalam bentuk yang serasi satu dengan lainnya. Dimulai dari fase
kunyahan makanan, air ludah dan seterusnya.
2. Sebelum
bayi dilahirkan, Allâh Ta’âla mempersiapkan tempat yang sesuai dalam
tubuh si ibu yang akan melahirkan bayinya untuk disusui dengan makanan
yang cocok (ASI).
3. Selama
bayi berada dalam rahim si ibu, ia tidak mamakan makanan melalui
mulutnya dan tidak juga bernafas, tetapi ia (bayi) memperoleh apa yang
dibutuhkannya melalui pusarnya. Makanan yang dimakan sang ibu tidak
cocok untuk tubuh si bayi. Oleh karena itu ada dapur dalam tubuh sang
ibu yang dinamakan placenta (ari-ari) yang letaknya bersebelahan dengan
janin, dan bertugas untuk memasak makanan yang cocok bagi si bayi.
4. Sebelum
terjadinya nuthfah, rahim mempersiapkan untuk menampungnya dan
memberinya makanan. Jika sudah menjadi nuthfah, janin akan mengambil
makanan dari dinding rahim dan berkembang. Apabila tidak menjadi
nuthfah, maka dinding bagian dalam rahim rusak. Melihat banyaknya wadah
darah dalam jaringan dinding tersebut kemudian sejumlah darah akan
keluar bersama jaringan-jaringan yang rusak dari tubuh. Ini, boleh jadi,
yang dinamakan dengan haidh yang biasa terjadi setiap bulan pada kaum
wanita dewasa.
Ringkasnya, bahwa haidh adalah sistem atau tatanan dalam rahim untuk
menyambut nuthfah dan berkembang menjadi janin hingga pembentukan
manusia.
Ciri-ciri Darah Haidh
Pada umumnya ciri-ciri darah haidh sebagai berikut:
1. Merah lembut, atau merah kehitaman
2. Kental
3. Panas
4. Saat keluar disertai dengan tekanan dan memancar serta sedikit terasa nyeri.*)
*)
Merujuk pada sifat-sifat tersebut ketika syak (ragu pada sebagian
keadaan). Kalau tidak demikian, maka darah yang diyakini bahwa itu darah
haidh yang dihukumi sebagai haidh, meskipun sifat-sifatnya tidak
terpenuhi. [Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.44, bab: Mandi Haidh]
Ciri-ciri Wanita Haidh
Ada tujuh syarat untuk mengetahui wanita haidh. Jika salah satu syarat
tersebut tidak ada, maka bukan darah haidh, yaitu:
1. Baligh (usia dewasa)
2. Haidh hingga masa sebelum usia manopause
3. Masa haidh tidak kurang dari tiga hari
4. Dan tidak lebih dari sepuluh hari
5. Tiga hari (pertama) berturut-turut
6. Terus menerus keluar darah dalam setiap hari-hari yang tiga
7. Adanya selang waktu antara dua haidh (masa suci) yang tidak kurang dari sepuluh hari.
Penjelasan:
1. Baligh (usia dewasa)
Seorang wanita yang baru melihat darah dan saat itu ia menginjak usia
dewasa (9 tahun sempurna), maka dihukumi darah haidh. Adapun darah yang
dilihatnya pada usia kurang dari sembilan tahun, maka dihukumi sebagai
darah istihâdhah meskipun memiliki sifat-sifat dan tanda-tanda darah
haidh. [Al-‘Urwatul Wutsqâ, bab: Haidh, hal.315; Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.42]
· Yang dimaksudkan dengan sembilan tahun adalah telah mencapai usia sembilan tahun penuh dan akan memasuki usia kesepuluh. [Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.42]
- Soal: Apa
yang dimaksud dari tahun usia kesembilan bagi wanita dewasa? Apakah
tahun yang dimaksud adalah tahun Syamsiyyah (Nasional) ataukah tahun
Qamariyyah (Hijriah)? Bila hal itu adalah tahun Qamariyyah, berapakah
jika dihitung dengan tahun Syamsiyyah?
+ Jawab:
Seorang wanita yang usianya sempurna sembilan tahun Qamariyah (hijriah)
maka ia telah berusia baligh (dewasa) dan terbebani oleh kewajiban
amalan-amalan syariat seperti shalat, puasa dan lainnya. Sedangkan
sembilan tahun qamariyah jumlahnya lebih sedikit daripada sembilan tahun
syamsiyah, yaitu tiga bulan beberapa hari. Untuk mengetahui perbedaan
secara cermat adalah dengan mengetahui hitungan bulan dan masa saat
dilahirkan. [Fiqh al-Mar`ah, Istiftâ`]
· Seorang
wanita yang ragu (syak), apakah ia telah menginjak usia baligh atau
belum? Dihukumi sebagai belum baligh. Bila saat itu dari vaginanya
keluar darah yang sesuai dengan sifat-sifat darah haidh dan ia meyakini
sebagai darah haidh,*) maka ia ditetapkan berusia baligh. Tetapi bila
darah yang keluar tidak bercirikan darah haidh, maka untuk menghukuminya
sebagai darah haidh masih bermasalah (mahallu ta`ammul wa isykâl).
*) Sebagian ulama (fiqih) menggolongkan darah tersebut darah haidh, demikian pula sebagai tanda usia kedewasaannya.
2. Usia Manopause Bagi Wanita
Bagi wanita yang berdarah quraisyiah [yang bersambung tali nasab
(keturunan)-nya kepada Nabi saw] akan mengalami masa manopause pada usia
enam puluh tahun. Sedangkan usia menopause wanita non-quraisyiyah
adalah lima puluh tahun. Oleh karena itu, darah yang keluar dari vagina
wanita tersebut bukan dikatagorikan sebagai darah haidh, dan dihukumi
darah istihâdhah.
- Soal:
Apa yang dimaksud dengan usia lima puluh tahun dan enam puluh tahun
yang berkenaan dengan wanita quraisyiyyah dan non-quraisyiyah saat
mengalami menopause. Apakah tahun-tahun yang dimaksud sesuai kalender
Qamariyyah (Hijriah) ataukah Syamsiyyah (Nasional))? Bila hal itu
mengikuti kalender Qamariyyah, berapakah jika dihitung dengan tahun
Syamsiyyah?
+ Jawab:
Tahun-tahun yang dimaksud adalah mengikuti hitungan kalender Qamariyah
(hijriah). Untuk setiap tahun qamariyah jumlahnya kurang dari tahun
Syamsiyyah sekitar 10 hari 21 jam.
· Jadi,
lima puluh tahun qamariyah kurang dari lima puluh tahun syamsiyah
sekitar 543 hari dan 18 jam. Atau sama dengan 18 bulan 3 hari. Sedangkan
manopausenya untuk wanita non-quraisyiyah kira-kira 48 tahun 6 bulan.
Dan 60 tahun qamariyah bagi wanita keturunan quraisyiyah (Hasyimiyyah)
kurang dari 60 tahun syamsiyah sekitar 652 hari 12 jam. Yakni, 21 bulan
22 hari 12 jam. Jadi, kira-kira 58 tahun 2 bulan 5/7 hari.
Dalam hitungan qamariyah, sebulan terkadang 29 hari atau 30 hari. Adapun syamsiyah, sebulan terkadang 28 hari, 29 hari, 30 hari atau 31 hari -peny.).
· Hitungan
maksimal wanita haidh bagi quraysyiyah adalah 60 tahun, sedangkan
non-quraysyiyah adalah 50 tahun. Ini, bukan berarti mereka harus haidh
sampai usia tersebut. Namun bisa seorang keturunan quraysyiyah
(hasyimiyyah) telah berhenti haidhnya sebelum usia tersebut dan wanita
non-quraysyiyah bisa saja berhenti haidhnya sebelum usia tersebut juga.
· Seorang
wanita yang ragu (syak) apakah dirinya sudah sampai usia menopause atau
belum, baginya tidak digolongkan sebagai wanita manopause.
3. Tidak Kurang Dari Tiga Hari
Darah yang keluar kurang dari tiga hari, meskipun kurang dari satu jam
saja, tidak dihukumi sebagai darah haidh. Namun tidak ada keharusan saat
melihat darah keluar pada awal permulaan hari (setelah azan subuh).
Bahkan cukup bila saat melihatnya di waktu pertengahan pada hari pertama
dan terus berlanjut sampai pertengahan hari keempat. Tolak ukurnya
adalah tiga hari, bukan tiga hari tiga malam. Atas dasar itulah dapat
dijadikan patokan bila ia melihat darah keluar selama tiga hari dua
malam. Yang dimaksud satu hari adalah saat terbit fajar (azan subuh)
sampai terbenam matahari (azan maghrib) secara syar’î. [Fiqh al-Mar`ah, hal.14; al-‘Urwat al-Wutsqâ, hal.319, bab Haidh, masalah:6; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.44, masalah:8,9,10]
· Malam
pertama tidak termasuk bagian dari hari, dan jika dikatakan bahwa darah
wajib ada pada malam kedua dan malam ketiga, maka satu malam tidak
dikatakan hitungan satu hari. Tetapi itu karena belum ada syarat yang
keenam, yaitu istimrâr (berkesinambungan). Maka malam hari yang pertama tidak dihitung meskipun memiliki ciri-ciri darah haidh. (Fiqh al-Mar`ah, Tahrir al-Wasîlah, jilid 1, hal.47, masalah:10)
· Wanita
tidak dilarang menggunakan pil (atau alat kontrasepsi lainnya) untuk
mencegah keluar darah haidh dengan tujuan agar dapat melaksanakan puasa
bulan Ramadhan. Jika ia melihat darah keluar kurang dari tiga hari, maka
tidak dihukumi darah haidh, meskipun memiliki ciri-ciri darah haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.14-15; Istiftâât]
- Soal:
Bagi wanita yang memiliki kebiasaan waktu dan bilangan, bila melihat
darah keluar di hari-hari kebiasaannya, bolehkah mengkonsumsi pil untuk
mencegah keluar darah haidh setelah sehari pada hari pertama darah
berhenti. Kalau diperbolehkan melakukan hal itu, maka apa hukum hari
yang pertama itu bersamaan ia tidak melihat darah keluar lebih dari satu
hari?
+ Jawab: Hal yang Anda tanyakan di atas tidak dilarang,
asalkan tidak membawa madharat (membahayakan) bagi pemakainya. Bila
darah berhenti kurang dari tiga hari maka tidak dihukumi sebagai darah
haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.15; Istiftâât]
- Soal: Sebagian
wanita mengkonsumsi pil (alat kontrasepsi lainnya) untuk menghindari
ketidakberaturan masa datangnya haidh setiap bulannya dalam menunaikan
ibadah haji, meskipun telah mengkonsumsi pil, kadangkala masa kebiasaan
haidhnya tetap datang, kemudian ia beralih menggunakan obat (serum) yang
disuntikan guna mencegah berlangsungnya kebiasaan haidhnya. Apakah
dengan menggunakan obat tersebut dihukumi suci dari haidh. Dengan
begitu, mereka diperbolehkan masuk ke Masjidil Haram, melakukan thawaf
dan shalat?
+ Jawab:
Bila mereka tidak melihat darah yang keluar selama tiga hari
berturut-turut, tidak dihukumi haidh, sehingga shalat dan puasanya
dihukumi sah. Jika keluar darah kurang dari tiga hari, maka dihukumi
sebagai darah istihadhah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.15; Istiftâât]
4. Tidak Melebihi Sepuluh Hari
Bila seorang wanita melihat darah keluar dari vaginanya lebih dari
sepuluh hari, maka dihukumi sebagai darah istihadhah.
· Darah
yang keluar selama sepuluh hari sembilan malam dihukumi haidh,
sedangkan darah yang keluar pada malam berikutnya (kesebelas) dihukumi
sebagai darah istihadhah meskipun lebihnya hanya satu atau dua jam saja.
5. Tiga hari (pertama) berturut-turut
Wanita yang melihat darah keluar dari vaginanya tiga hari
berturut-turut, maka dapat dipastikan sebagai darah haidh dan baginya
dikenai hukum-hukum haidh. Adapun bila selama tiga hari dalam masa
sepuluh hari ia melihat darah keluar dengan ciri-ciri darah haidh secara
acak (tidak berurutan). Misalnya, darah keluar pada hari pertama,
kelima, dan ketujuh, maka pada hari melihat darah keluar, ahwath (istihbâb,
menyikapi kehati-hatian) dianjurkan untuk menggabung (melakukan) kedua
hukum wanita istihadhah dan wanita haidh. Maksudnya, ia harus
mempraktikkan hukum sebagai wanita istihadhah dan mempraktikkan hukum
sebagai wanita haidh. Sedangkan pada hari-hari di mana ia melihat darah
keluar (yakni, hendaknya ia melakukan shalat dan puasa serta
meninggalkan hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh, seperti masuk ke
Masjidil Haram, tinggal beberapa saat di dalam masjid lainnya,
menyentuh tulisan al-Qur`an, asma Allah Ta’ala, dan lainnya). Pada
hari-hari di mana wanita tidak melihat darah keluar, hendaknya
mempraktikkan kedua hukum wanita yang suci dan tidak mempraktikkan
hal-hal yang haram bagi wanita haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.17; Tahrir al-Wasîlah, jilid 1, hal.47, masalah:9]
· Yang
dimaksud berturut-turut, yaitu berturut-turut pada tiga hari pertama.
Meskipun setelah tiga hari pertama tidak berturut-turut (maksudnya, tiga
hari kedua: hari-4, ke-5, ke-6) maka tidak menggugurkan hukum haidh.
Sebaliknya, bila keluar darah tiga hari kedua berikutnya berturut-turut,
dan pada tiga hari pertama ia tidak melihat darah keluar secara
berturut-turut, tidak dihukumi sebagai darah haidh, maka ia harus
melakukan kedua hukum yang telah disebutkan sebelum ini. [Fiqh al-Mar`ah, hal.17; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.319, masalah:6]
6. Terus Menerus Keluar Darah Pada Hari-Hari Ketiga Pertama
Syarat yang keenam adalah terus menerus (kesinambungan, kontinyu)
melihat darah pada hari-hari ketiga pertama (yakni, hari ke-1, ke-2, dan
ke-3), tetapi tidak seharusnya tampak keluar darah dari permukaan
vaginanya, bahkan cukup untuk dihukumi sebagai darah haidh bila tampak
di bagian dalamnya saja.
· Perbedaan berturut-turut (at-Tawâlî) dan kesinambungan (al-Istimrâr)
adalah bahwa maksud berturut-turut yaitu keluar darah selama tiga hari
terus-menerus. Demikian juga halnya dengan terus-menerus (istimrâr)
melihat darah pada seluruh hari-hari yang tiga tersebut tidak berhenti.
Namun, tidak bermasalah jika berhenti (tidak keluar darah) sebentar
saja.
· Bukanlah yang dimaksud terus-menerus (istimrâr)
keluar darah selama tiga hari itu keluar ke permukaan vagina, bahkan
yang tampak di dalam vagina pun sudah cukup dihukumi sebagai darah
haidh.
· Pada
permulaan haidh seharusnya darah keluar ke permukaan luar vagina,
meskipun hanya sebesar ujung jarum. Tetapi keluarnya darah bukan suatu
keharusan darah haidh itu tampak, bahkan bercak darah dalam vagina sudah
cukup sebagai dasar penentuan darah haidh.
· Bila
seorang wanita merasa ada darah yang keluar dari vagina, tapi tidak
sampai mengalir ke permukaan, apakah ia dianggap sebagai wanita haidh? Ahwath
(wajib, lebih hati-hati) ia melakukan kedua hukum: pertama,
mempraktikkan sebagai wanita suci, dan kedua: tidak mempraktikkan
hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh.*)
*)
Tentu, dimungkinkan mengeluarkan darah dengan sarana apapun dan
dihukumi sebagai darah haidh, meskipun yang keluar adalah sedikit.
7. Batas Minimal Untuk Selang Waktu Antara Dua Haidh (Masa Suci) Adalah Sepuluh Hari.
Bila belum berlalu sepuluh hari dari masa suci haidh pertama, maka jika
ia melihat darah keluar, tidak dihukumi sebagai darah haidh (kedua).
· Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui kadang kala mengalami haidh.
Macam-macam Wanita Haidh
1. Wanita yang mempunyai adat (kebiasaan) haidh.
2. Wanita yang tidak mempunyai adat (kebiasaa) haidh.
a) Mubtadi`ah, yaitu wanita yang belum pernah melihat darah haidh, atau wanita yang telah mencapai usia baligh dan awal mula ia haidh.
b) Mudhtharibah,
yaitu wanita yang melihat darah beberapa bulan, tetapi ia tidak
memiliki kebiasaan tertentu, atau bahwa kebiasaannya tidak teratur. Di
samping itu, ia belum memperoleh kebiasaan baru yang teratur.
c) Nâsiyah,
yaitu wanita yang lupa kebiasaan masa haidhnya. Hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa ia lupa kebiasaan sebelumnya lebih dari dua tahun,
karena hamil dan menyusui anaknya.
Hukum-Hukum Wanita Haidh
Diharamkan bagi wanita haidh beberapa hal:
1. Haram
mengerjakan berbagai ibadat yang tidak sah melakukannya kecuali diawali
dengan wudhu`, mandi-wajib atau tayamum, seperti shalat (selain shalat
jenazah), thawaf, puasa dan i’tikâf.
2. Diharamkan
sebagaimana diharamkan juga bagi orang yang berhadas, yaitu menyentuh
asma Allah Ta’ala, nama-nama Nabi, Imam ‘alayhimussalâm, menyentuh
tulisan ayat Al-Qur`ân (sebagaimana yang diterangkan dalam bab wudhu`).
3. Diharamkan
sebagaimana diharamkan pula bagi orang yang junub. Seperti membaca
salah satu surah-surah ‘Aza`im atau sebagiannya yang di dalamnya ada
perintah wajib sujud. Yaitu, Juz 21, surah ke-32 (Alîf lâm mîm
tanzîl/as-Sajdah, ayat 15); Juz 24, surah ke 41 (Fushshilat, ayat 37);
Juz 27, surah ke-53 (Wan Najm, ayat 62); Juz 30, surah ke-96 (Iqra`,
ayat 19). Tidak diharamkan bagi wanita haidh mendengarkan bacaan ayat
sajadah (sujud), jika ia mendengarkan bacaan ayat sajadah dan sampai
pada ayat tersebut, hendaklah sujud.
4. Haram
melakukan hubungan suami istri, ini berlaku bagi keduanya, meskipun
yang masuk hanya sebatas khasyafah (tempat khitan) dan tidak terjadi
keluar mani (ejakulasi), bahkan ahwath (wujubi, demi
kehati-hatian) untuk tidak memasukkannya walaupun kurang dari batas
khasyafah (tempat khitan). Bila hal itu dilakukan akan dikenai sanksi,
selain haram ditambah juga dengan kewajiban membayar kaffarat yang
besarnya ditentukan berdasarkan kapan dilakukan hubungan suami istri
tersebut. [Fiqh al-Mar`ah, hal. 43; Taudhîh al-Masâil, masalah: 451]
Bila hari-hari haidh wanita dibagi tiga masa, maka:
a) Jika seorang suami menggauli istrinya melalui qubulnya pada bagian awal hari haidh, ahwath (wajib, bersikap kehati-hatian) ia membayar kaffarat kepada satu orang fakir satu dinar emas. [Satu dinar sama dengan 3,45 gram emas. Dinukil dari kitab al-Ahkâm al-Muyassarah, bab IV ZAKAT, zakat an-Naqdayn, hal.122, edisi Dâr at-Tayyâr al-Jadîd, Beirut – Lebanon, tahun 1405 H.]
b) Jika menggaulinya pada bagian kedua ia wajib membayar kaffarat setengah dinar.
c) Jika menggaulinya pada bagian ketiga ia wajib membayar kaffarat seperempat dinar.
· Tidak dikenai kaffarat bagi wanita meskipun melakukannya atas kemauannya sendiri, namun ia telah berbuat haram dan bermaksiat. [Fiqh al-Mar`ah, hal.45; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.340]
· Diwajibkan
membayar kaffarat karena ia mengetahui bahwa perbuatan itu dihukumi
haram dan dilakukannya dalam keadaan haidh. Bahkan ahwath (sunah) pada sebagian hal meskipun ia tidak mengetahui (jahil) karena memiliki kesempatan untuk bertanya. [Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.53]
· Bila
ia telah suci dari haidh, suami boleh menggaulinya sebelum istri
melakukan mandi-wajib juga belum membersihkan farjinya tapi makruh
hukumnya. Ahwath (bersikap kehati-hatian) menghindari melakukan hal itu sebelum istri mandi suci. [Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.53]
· Yang
dimaksud dengan pada bagian awal hari haidh adalah sepertiganya. Jika
hari-hari haidhnya enam hari, maka 6:3= 2. Jadi, jika suami melakukan
hubungan sebadan dengan istrinya pada malam atau hari yang pertama atau
kedua, ia dikenai kaffarat 1 (satu) dinar; jika pada malam atau hari
yang ketiga atau keempat, ia dikenai kaffarat ½ (setengah) dinar; jika
melakukannya pada malam atau hari kelima atau keenam, keffaratnya ¼
(seperempat) dinar. [Fiqh al-Mar`ah, hal.44]
· Bila
suami menggauli istrinya yang haidh pada bagian awal, yang kedua, dan
ketiga, maka diwajibkan membayar kaffarat ketiganya, yaitu: 1+½+¼ =
(1+0.5+0.25 =1.75 dinar emas. Atau, 1.75 x 3.45 gram emas = 6.0375 gram
emas – peny.)
· Tidak
seharusnya membayar kaffarat berupa emas, tetapi boleh menguangkannya
seharga emas saat itu lalu diberikan kepada tiga orang miskin.
· Seseorang yang tidak mampu membayar kaffarat, afdhalnya bersedakah, jika tidak mampu juga, maka ahwath (wajib) beristighfar, dan jika suatu saat ia mampu hendaknya membayarkan kaffaratnya.
4. Haram menyentuh tulisan al-Qur`an, asma Allah, Nabi saw, para Imam as secara langsung dengan anggota tubuh kita.
5. Haram memasuki Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabi saw, meskipun masuk dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain.
6. Haram
berdiam di dalam masjid selain Masjid al-Haramain (Makkah dan Madinah).
Diperbolehkan masuk dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain, atau
masuk untuk mengambil sesuatu, dan ahwath (wajib) tidak diperbolehkan juga berdiam di sekitar makam para Imam Ahlul Bayt as.
7. Diharamkan bagi wanita haidh meletakkan sesuatu di dalam masjid.
8. Tidak
sah (batal) talak suami terhadap isterinya yang sedang haidh dan
sebelumnya pernah digauli, kecuali dalam beberapa hal di samping
syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi, maka lihat dalam kitab-kitab
fiqih.
9. Wajib
mengqadha` ibadah-ibadah yang ditinggalkannya saat dalam keadaan haidh,
seperti puasa wajib bulan Ramadhan atau lainnya. Juga shalat wajib
selain shalat wajib lima waktu, seperti shalat ayat, shalat thawaf,
shalat nadzar, dan lainnya.
· Bila
seorang wanita telah bersih (tidak keluar) darah sebelum azan subuh di
bulan Ramadhan, ia wajib segera mandi sehingga sebelum azan subuh dalam
keadaan suci untuk melakukan puasa esoknya. Bila ia sengaja dan tidak
segera mandi sampai masuk azan subuh, maka puasanya untuk esoknya batal,
(wajib baginya mengqadha`)
· Tidak
dilarang bagi wanita haidh mengikrarkan akad nikah, namun jika untuk
mengikrarkan talak tidak sah dengan melihat beberapa syarat yang
disebutkan dalam kitab fiqih.
· Mustahab
(dianjurkan) bagi wanita yang sedang haidh untuk membersihkan dirinya,
mengganti kain pembalut (softek)-nya yang telah kotor, berwudhu atau
bertayamum sebagai pengganti wudhu saat datang waktu shalat seharian
kemudian mengenakan mekena (rukuh) dan duduk di tempat shalat menghadap
ke arah kiblat selama biasa ia lakukan shalat, lalu menyibukkan diri
dengan bertasbih, bertahlil, bertahmid, shalawat kepada Nabi saw,
membaca al-Qur`an meski makruh kecuali pada waktu-waktu shalat. Maksud
makruh di sini adalah berkurangnya pahala. Namun afdhalnya membaca
tasbih empat:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَاللهُ أَكْبَرُ
Hal-Hal Yang Makruh Bagi Wanita Haidh
1. Memakai inai (pacar) atau sejenisnya.
2. Membaca al-Qur`an meski kurang dari tujuh ayat.
3. Membawa al-Qur`an meskipun hanya sampulnya saja.
4. Menyentuh pinggir bagian dalam dan antara tulisan ayat-ayatnya.
· Tidak
dimakruhkan bagi orang yang junub membaca al-Qur`an tidak lebih dari
tujuh ayat selain surat-surat ‘Azâim. Dimakruhkan jika lebih dari tujuh
ayat, dan lebih dimakruhkan lagi jika melebihi tujuh puluh ayat. Maksud
makruh di sini adalah berkurangnya pahala bacaannya.
- Soal: Jika ibu saya berasal dari keturunan Nabi (saw), apakah saya seorang sayyid (sâdah),
sehingga saya menganggap kebiasaan bulanan saya sebagai haidh sampai
usia 60 tahun dan tidak melakukan shalat dan puasa selama masa tersebut?
+ Jawab: Jika wanita yang bapaknya bukan dari keturunan Bani Hasyim, meskipun ibunya tergolong dari sâdah (para sayyid), melihat darah setelah atas usia 50 tahun maka darah tersebut dihukumi sebagai darah istihadhah.
- Soal: Apa taklif wanita yang mengalami haidh ketika sedang menjalani puasa nazar yang telah ditentukan?
+ Jawab: Puasanya batal dengan terjadinya haidh meskipun pada sebagian siang hari puasa dan wajib baginya qadha’ puasa jika sudah suci.
Darah Nifas
Darah nifas adalah darah kelahiran yang keluar bersamaan atau
setelahnya hingga sepuluh hari terhitung saat kelahiran, meskipun janin
keguguran dan belum ditiupkan ruh padanya, bahkan yang keluar masih
berbentuk mudhghah atau ‘alaqah yang diketahui secara
pasti oleh wanita bahwa itu adalah cikal bakal bayi, atau diyakini oleh
empat orang ahli di bidangnya (dokter kandungan, bidan, dan lainnya),
maka darah yang dilihat oleh wanita sampai sepuluh hari adalah darah
nifas.
· Darah yang dilihat oleh wanita tidak disertai bagian tubuh si bayi bukanlah darah nifas.
· Bila
keluar sesuatu dari rahim wanita dan tidak diketahui apakah sesuatu itu
cikal bakal bayi atau bukan, maka darah yang dilihatnya bukanlah darah
nifas. [Fiqh al-Mar`ah, hal.59; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
· Seorang
wanita yang melahirkan bayi kembar maka hitungan awal darah nifasnya
dari anak yang pertama keluar, tetapi untuk menghitung permulaan sepuluh
hari nifas dihitung dari kelahiran anak yang kedua. [Fiqh al-Mar`ah, hal.60; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
· Tidak
ada batas minimal hari waktu nifas, karenanya bisa saja wanita melihat
darah nifas yang keluar sesaat saja (antara hari-hari yang sepuluh)
kemudian berhenti. Bila wanita melihat darah nifas yang keluar hanya
sesaat atau beberapa saat, maka diwajibkan mandi suci dan melakukan
shalat.
· Kalau
ia tidak melihat darah sama sekali, atau melihatnya setelah sepuluh
hari terhitung dari saat persalinan, maka bukanlah darah nifas. Maksimal
darah nifas adalah sepuluh hari yang, awal hitungannya dari setelah
keluarnya bayi, bukannya awal hitungannya dari ketika mulai persalinan. [Fiqh al-Mar`ah, hal.59; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
· Tugas
wanita setelah tidak lagi mengeluarkan darah nifas, maka hendaknya ia
melakukan pemeriksaan diri dengan kapas, untuk melihat apakah
benar-benar telah bersih dari darah? Sebagaimana hal itu telah
dijelaskan dalam bab haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.64; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.363, bab Hukum-Hukum Nifas, masalah:8]
· Hukum-hukum wanita nifas sama seperti hukum-hukum wanita haidh, yaitu:
1. Tidak boleh digauli.
2. Tidak sah talaknya.
3. Haram melakukan shalat dan puasa.
4. Haram menyentuh tulisan al-Qur`an.
5. Haram membaca surat-surat ‘Azâim.
6. Haram masuk ke Masjid al-Haramain (Makkah dan Madinah).
7. Haram berdiam di dalam masjid-masjid selain kedua masjid tersebut.
8. Wajib mengqadha` puasa, adapun shalat tidak wajib mengqadhanya.
9. Diharamkan
meletakkan sesuatu di dalam masjid. Dan lain-lainnya itu yang telah
disebutkan secara rinci dalam bab haidh. Jadi, hal-hal yang diharamkan,
dimakruhkan, dan dianjurkan (mustahab) pada wanita nifas berlaku pula
pada wanita haidh.
Darah Istihadhah
Istihadhah, adalah darah yang keluar dari vagina wanita, bukan karena
luka dan tidak memiliki syarat-syarat darah haidh dan darah nifas.
· Ciri-ciri
darah istihadhah pada umumnya berwarna kuning, dingin, lembut, saat
keluar tanpa tekanan, tidak terasa nyeri, tidak sakit, dan tidak kental.
Tetapi kadang kala berwarna hitam, merah, terasa panas, kental dan saat
keluar ada tekanan serta nyeri. Memang, ciri-ciri darah istihadhah pada
umumnya kebalikan dari ciri-ciri darah haidh umumnya. [Fiqh al-Mar`ah, hal.71; Taudhîh al-Masâil, masalah:392]
· Darah
istihâdhah tidak memiliki batas minimal dan maksimal, mungkin saja masa
keluarnya istihadhah kurang dari tiga hari, atau bahkan melebihi
sepuluh hari. [Fiqh al-Mar`ah, hal.71; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal:56]
· Penentuan
awal istihadhah terhitung sejak keluar darah dari vagina wanita
meskipun hanya seujung jarum. Kelangsungannya tidak harus darah itu
keluar ke permukaan farjinya, bahkan bercak yang ada di dalam farji
sudah cukup sebagai dasar penentuan hukum darah istihadhah. Ahwath (istihbâb, sikap kehati-hatian) dianjurkan untuk menetapkannya sebagai darah istihâdhah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.72; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.349, bab Istihâdhah]
Tiga Macam Istihâdhah
1. Istihâdhah sedikit (qalîlah),
yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas) namun
tidak sampai menembus (melumuri) ke permukaan lainnya.
2. Istihâdhah sedang (mutawassithah),
yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas)
hingga menembus (melumuri) ke permukaan lainnya, tetapi tidak sampai
mengalir ke celana dalamnya.
3. Istihadhah banyak (katsîrah),
yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas) dan
menembus (melumuri) ke permukaan lainnya hingga mengalir (mengotori)
celana dalamnya.
· Tugas
wanita istihadhah yaitu ia wajib mencari tahu setiap masuk waktu shalat
dengan cara mengecek keadaan darah yang keluar dengan memasukkan kapas
atau sejenisnya lalu bersabar sebentar untuk mengetahui tergolong jenis
istihadhah mana sekaligus menetapkan tugas yang harus dijalani. Tidak
diperbolehkan saat mencari tahu sebelum masuk waktu shalat, kecuali
sudah diketahui tidak mengalami perubahan keadaannya sampai masuknya
waktu shalat. [Fiqh al-Mar`ah, hal.72; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal:57, masalah: 1]
Hukum-Hukum Istihadhah Sedikit
1. Wanita
yang mengalami istihadhah sedikit diwajibkan berwudhu setiap hendak
melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunah. Maksudnya, ia berwudhu
untuk melaksanakan shalat zuhur, dan wudhu lagi untuk melaksanakan
shalat asar.
2. Mengganti softek dan membasuh farjinya dengan air setiap melihat darah keluar dan melumurinya.
· Hendaknya
wanita yang mengalami istihadhah sedikit berwudhu sekali untuk setiap
hendak shalat, juga wajib berwudhu setiap kali amalan ibadah yang
disyaratkan bersuci (wudhu/tayamum), seperti thawaf, menyentuh tulisan
al-Qur`an (karena nazar). Maksudnya, tidak cukup satu wudhu untuk semua
amalan tersebut. Bahkan wajib untuk setiap amalan melakukan wudhu
tersendiri, hatta setiap kali hendak menyentuh tulisan al-Qur`an. Atas
dasar itulah, maka ahwath (wajib, sikap kehati-hatian) hendak berwudhu sekali untuk setiap amalan. [Fiqh al-Mar`ah, hal.74; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:17]
· Bila
seorang wanita telah melaksanakan tugas istihadhah sedikit untuk shalat
zuhur, dan ia tidak melihat darah keluar sampai maghrib, maka ia
diperbolehkan melaksanakan shalat maghrib dan isyak dengan wudhu
tersebut.
· Apakah
wanita yang mengalami istihadhah sedikit dan setelah bersih diwajibkan
mandi (suci)? Tidak diwajibkan mandi bagi wanita yang mengalami
istihadhah sedikit. [Fiqh al-Mar`ah, hal.74; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:16]
Hukum-Hukum Istihadhah Sedang
Wanita yang tengah mengalami istihadhah sedang (jika tetap dalam
keadaan seperti itu) diwajibkan mandi sekali setiap hari sebelum
melaksanakan shalat subuh. Namun bila istihadhah sedang ini terjadi
setelah melakasanakan shalat subuh, maka dia wajib mandi saat hendak
melaksanakan shalat zuhur dan ashar. Bila ia mengalami istihadhah sedang
sebelum shalat maghrib dan isyak, maka sebelum melaksanakan kedua
shalat tersebut ia wajib mandi terlebih dahulu. Apabila sampai keesokan
ia tetap dengan kondisi istihadhah sedang, maka diwajibkan mandi setiap
kali akan melaksanakan shalat subuh. Alhasil, ia diwajibkan mandi
hanya satu kali dalam sehari semalam. Adapun yang berkenaan dengan
shalat-shalat berikutnya ia diwajibkan mengamalkan hukum-hukum
istihadhah sedikit.
Wanita yang tengah mengalami istihadhah sedang juga diwajibkan
melakukan tugas wanita yang tengah mengalami istihadhah sedikit, yaitu
mengganti pembalut (softek) dan membasuh vaginanya serta berwudhu setiap
kali hendak melaksanakan shalat.
Hukum-Hukum Istihadhah Banyak
Wanita yang sedang mengalami istihadhah banyak (sebelum azan subuh) diwajibkan mandi tiga kali sehari:
Pertama, mandi suci sebelum melaksanakan shalat subuh.
Kedua,. mandi suci sebelum melaksanakan shalat zuhur dan ashar (menjamak), dengan syarat tanpa jeda waktu yang lama antara keduanya.
Ketiga,.
mandi suci sebelum melaksanakan shalat maghrib dan isyak (menjamak),
dengan syarat tanpa jeda waktu yang lama antara keduanya.
· Setelah
mandi suci dan wudhu, wanita yang sedang mengalami istihadhah banyak
diwajibkan berusaha mencegah keluarnya darah sebisa mungkin, dengan kain
pembalut kuat-kuat yang tidak membahayakan. Bila ia lalai dan tidak
berupaya untuk mencegahnya sehingga darah keluar, maka wajib mengulang
shalatnya bahkan ahwath (wajib) mengulang mandi suci dan wudhu. [Fiqh al-Mar`ah, hal.76; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:9; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.58, masalah:4]
· Bila
diketahui sebelumnya tidak terdapat luka dan ragu apakah darah yang
keluar itu darah luka atau memang darah istihadhah, maka ahwath (wajib) dihukumi darah istihadhah.
· Bila
wanita mengalami istihadhahnya setelah shalat ashar dan tidak melakukan
mandi suci sampai azan maghrib, maka puasanya dihukumi sah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.78; Taudhîh al-Masail, masalah:323, 407]
· Seorang
wanita yang telah mandi suci dan wudhu dari istihadhah sedang maupun
banyak, bila darah istihadhah sedang maupun istihadhah banyak keluar
lagi, maka membatalkan wudhu dan mandi.
· Wanita yang sedang mengalami istihadhah, ahwath (wajib) melakukan hal-hal berikut: Pertama,
pemeriksaan atau mencari tahu sebelum melaksanakan shalat untuk
mengetahui tingkat istihadhah yang tengah dialaminya. Caranya dengan
menggunakan kapas atau sejenisnya lalu memasukkannya ke dalam vagina
(farji) dan bersabar sebentar sebelum mengeluarkannya kembali. Dengan
demikian setelah melihat darah yang melekat pada kapas tersebut ia dapat
menentukan bagian golongan istihadhah yang mana. Kedua,
melaksanakan shalat berdasarkan golongan istihadhah yang telah
diperiksanya terakhir kali. Pemeriksaan harus dilakukan setelah waktu
shalat tiba, bila melakukannya sebelum masuk waktu shalat, tidak cukup
dijadikan sebagai dasar penetapan golongan istihadhah, kecuali ia yakin
bahwa golongan istihadhahnya tidak akan bergeser sebelum atau sesudah
masuk waktu shalat.
· Wanita yang tengah mengalami istihadhah, ahwath (wajib) berupaya mencegah keluarnya darah semampunya saat berpuasa.
· Wanita
yang tengah mengalami istihadhah diperbolehkan untuk mendahulukan mandi
suci kemudian wudhu, tetapi afdhalnya mendahulukan wudhu.
· Bila
saat mandi suci darah istihadhah tidak berhenti maka mandinya dihukumi
sah, tetapi bila ditengah-tengah mandi mengalami perubahan golongan dan
jenisnyanya, seperti istihadhah sedang menjadi istihadhah banyak, maka
mandi yang dilakukan secara tartîbî, ahwath (wajib) mengulanginya, sedangkan mandi yang dilakukan secara irtimâsî, afdhalnya mengulangi juga.
· Mandi suci tartîbî,
yaitu melakukan mandi suci dengan cara mengurutkan pada bagian-bagian
anggota tubuh yang dimulai dengan menyiram seluruh bagian kepala dan
leher, kemudian menyiram badan bagian kanan lalu menyiram badan bagian
kiri secara merata. Adapun mandi suci irtimâsî, yaitu dengan cara menenggelamkan seluruh badan ke dalam sungai, kolam renang, dan sejenisnya. Lihat bab Mandi Janabah.
· Wanita
yang tengah mengalami istihadhah diperbolehkan memasuki Masjid
al-Haramain dan berdiam di dalam masjid-masjid lain tanpa mandi dulu,
namun ahwath (istihbâbî, sikap kehati-hatian) dianjurkan tidak melakukannya (tidak memasukinya).
· Cara
mandi suci, baik bagi wanita yang mengalami haidh, nifas, istihadhah
sedang maupun banyak sama seperti saat melakukan mandi suci janabah
(junub), yaitu: menyiram seluruh bagian kepala dan leher, badan bagian
kanan, dan badan bagian kiri secara merata. Tentu setiap ibadah yang
akan ia lakukan harus diawali dengan niat.
0 komentar:
Posting Komentar