MERAWAT JENAZAH
BAB 1 – IHTIDHÂR
Diriwayatkan
bahwa siapa saja yang telah nampak padanya tanda-tanda kematian akan
menjemputnya, hendaklah segera menunaikan kewajiban hak-hak Allah Swt
seperti shalat, puasa dan selainnya. Atau, kewajiban hak-hak bagi
sesamanya seperti melunasi hutang sesuai kemampuan dan mengembalikan
amanat (berupa barang atau benda) yang ada padanya kepada pemiliknya.
Dan apabila ia tidak mampu melaksanakan sendiri terhadap beban
kewajiban-kewajiban tersebut, ia wajib mewasiat-kannya.
Apabila datang saat-saat ihtidhâr (menjelang ajal atau saat naza’), maka bagi selainnya (yang sehat) untuk mengupayakan beberapa tugas berikut ini:
1. Menghadapkannya
ke arah Kiblat. Yakni, menelentangkannya dan menja-dikan perut dan
dadanya mengarah ke atas. Sedangkan ke dua telapak kakinya di hadapkan
ke Kiblat (yang sekiranya kalau ia didudukkan atau duduk, maka posisi
dada dan perutnya menghadap ke arah Kiblat). Apabila tidak dapat
melakukan seperti itu, boleh dengan posisi miring. Yakni, tangan sebelah
kanan berada di bawah, sedangkan yang kiri berada di atas dengan
menghadapkan dada dan perut ke arah Kiblat. Jika demikian itu juga tidak
mungkin, lakukanlah sesuai kemampuan. Dan tidak dibedakan antara si
laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak. Hal itu juga dilakukan
ketika ia telah wafat. Cara seperti itu tetap harus diperhatikan hingga
sampai usai dimandikan.
2. Dimustahabkan (dianjurkan) untuk menalkini atau membisikkannya dengan dua kalimat syahadat.
3. Mengikrarkan
(mengukuhkan kembali keyakinannya) terhadap dua belas Imam dan seluruh
keyakinan yang haq secara mudah dapat dipahami olehnya.
4. Dibacakan doa al-‘Adîlah.
5. Ditalkini dengan kalimat al-Faraj (keselamatan).
6. Doa al-Yasîr. Bahkan kesemua itu diulanginya hingga menemui ajalnya.
7. Dipindahkan
ke mushalla rumahnya (yakni tempat ia biasa melaksanakan shalat)
apabila ia mengalami kesulitan naza’, dengan syarat tidak sampai
menyakiti tubuhnya.
8. Dibacakan
surah Yâsîn dan ash-Shâffât supaya dapat segera menghem-buskan napas
terakhirnya. Juga ayat Kursî sampai pada hum fîha khâli-dûn(a); dan ayat
ash-Shukhrah yang diawali dengan inna rabba-kumullâhul ladzî khalaqas
samâwâti wal ardha –sampai dengan akhir ayat; tiga ayat akhir dari surah
al-Baqarah: lillâhi mâ fis samâwâti wal ardha; atau surah al-Ahzâb. Bahkan bacaan surah manapun dari al-Qur`ân al-Karîm. (lihat di halaman belakang)
Hal-hal yang Dianjurkan Setelah Wafat
1. Memejamkan kedua mata dan mengatupkan mulutnya.
2. Mengikat kedua rahang atas dan bawah.
3. Meluruskan kedua tangannya dan diletakkan ke samping sisinya.
4. Meluruskan kedua kakinya.
5. Diberi lampu penerang jika wafatnya di waktu malam.
6. Memberitahukan ke segenap kaum Mukmin agar mereka menghadiri jena-zahnya.
7. Segera
mempersiapkan segala keperluan si mayat, kecuali keadaannya masih
diragukan (sudah wafat atau belum), maka menunggu hingga penuh keyakinan
bahwa ia telah benar-benar wafat.
8. Membaca doa ketika mendengar kematian.
Setelah
itu, segera melaksanakan pemakamannya. Dan jangan menunggu sampai
malam, jika wafatnya siang hari. Begitu pula sebaliknya. Tetapi jika si
mayat itu perempuan dalam keadaan mengandung, sementara janin yang di
dalam kandungannya masih hidup, maka harus menunggu hingga janin
diselamatkan secara medis.
Hal-Hal Yang Dimakruhkan
1. Menyentuhnya dalam keadaan naza’. Karena demikian itu menyakitkan tubuhnya.
2. Membebani perutnya dengan besi atau selainnya.
3. Membiarkannya sendirian, karena setan akan menyelinap masuk ke dalam tubuhnya.
4. Kehadiran seorang yang berhadas besar, seperti junub dan haid di sisi orang yang sedang ihtidhâr.
5. Berbicara berlebihan di hadapannya.
6. Menangis di sisinya.
7. Kehadiran ‘amalatul mawtâ (orang yang menangani jenazah –peny.) di sisinya.
8. Membiarkan
wanita hadir sendirian di hadapannya, karena dikhawatirkan akan terjadi
jeritan dan isak tangis histeris di antara mereka.
BAB 2 – MEMANDIKAN MAYAT
Memandikan mayat Muslim hukumnya wajib kifai, baik mayat anak-anak maupun orang dewasa. Namun ada beberapa pengecualian:
1. Aborsi
(keguguran). Apabila janin belum mencapai usia empat bulan tidak wajib
dimandikan, tetapi cukup dibungkus dengan kain bersih (suci) kemudian
dimakamkan. Dan jika telah mencapai usia empat bulan, segera dimandikan,
dikafani lalu dimakamkan.
2. Syahid,
yaitu mati terbunuh di jalan Allah Ta’ala bersama Imam as atau wakil
Imam as tertentu. Demikian juga yang mati terbunuh menjaga serta
memelihara kemurnian ajaran Islam masa kegaibannya. Maka hal seperti itu
tidak perlu dimandikan dan tidak juga diberi hanûth
(sejenis bahan pengharum). Juga tidak dikafani, bahkan dimakamkan
beserta pakaian yang melekat pada tubuhnya. Kecuali jika terbuka
auratnya, lalu dikafani dan dimakamkan. Yang dimaksud dengan mati syahid
adalah pejuang (mujahid) Islam yang menghembuskan napas terakhirnya di
saat dalam pertempuran jihad fî sabîlillâh sedang berkobar, atau di luar
medan pertempuran sementara pertempuran masih berlangsung. Jika
ditemuinya mati setelah usai pertempuran, hal itu wajib dimandikan dan
dikafani, dishalati lalu dimakamkan.
3. Mati
karena menjalani hukuman rajam atau qishâsh. Maka Imam as atau wakil
Imam as khusus ataupun umum (seorang faqih yang berwenang) menyuruh si
fulan yang akan menjalani hukuman rajam atau qishâsh melaksanakan mandi
(sendiri) sebagaimana cara mandi mayat. Pertama, dengan air sidir. Kedua, dengan air kâfûr. Dan, ketiga,
dengan air suci. Kemudian mengenakan kain kafan seperti mengafani mayat
dan dihanuthi, lalu pelaksanaan hukuman (hingga mati), dishalati dan
dimakamkan.
Syarat-syarat yang Memandikan Mayat
1. Baligh (usia dewasa).
2. Berakal (sehat).
3. Muslim. Dan apabila memungkinkan Syi’î Imâmî Itsnâ ‘Asyarî.
4. Sepadan
dan sejenis, antara yang memandikan dan mayat. Laki-laki bagi
laki-laki, dan perempuan bagi perempuan. Tidak diperbolehkan mayat
laki-laki memandikan mayat perempuan, atau sebaliknya. Tetapi ada
beberapa pengecualian:
· Anak kecil yang usianya tidak lebih dari tiga tahun. Maka boleh bagi laki-laki dan perempuan memandikannya.
· Antara suami dan istri. Boleh untuk setiap dari mereka memandikannya.
· Muhrim. Boleh memandikan mahramnya karena tidak ada yang sejenis atau sepadan.
Adab Memandikan Mayat
1. Meletakkan
mayat pada tempat yang lebih tinggi dari tanah, yaitu di atas sâjah
atau sarîr (tempat sejenis dipan yang lazim digunakan untuk pem-baringan
mayat ketika dimandikan). Sedangkan posisi kepalanya lebih tinggi
daripada kakinya. Lalu dihadapkan ke Kiblat, sebagaimana pada saat ihtidhâr.
2. Menanggalkan pakaiannya dari ujung kedua kakinya, meskipun harus mengguntingnya. Tetapi menurut ihtiyâth (wajib) mohon restu dari ahli warisnya.
3. Di bawah lindungan atap atau selainnya.
4. Menutup
auratnya meskipun tidak hendak melihatnya. Atau yang meman-dikannya
adalah seseorang yang diperkenankan melihat auratnya.
5. Melemaskan atau melenturkan jari-jari dan sendi-sendi tulangnya dengan lembut.
6. Sebelum
mayat dimandikan, hendaklah membasuh kedua tangannya hingga separuh
pergelangannya, yang masing-masing tiga kali basuhan. Sebaiknya basuhan
pertama dengan air sidir. Kedua, dengan air kâfûr. Dan, yang ketiga,
dengan air murni (suci).
7. Membasuh kepalanya dengan buih air sidir (air campuran daun bidara). Atau, khathmî (sejenis tumbuhan berbau harum), dan menjaga jangan sampai airnya masuk ke dalam telinga atau hidungnya.
8. Sebelum
mayat dimandikan, hendaklah membasuh kedua farji (aurat)-nya atau
rambut sekitarnya dengan air buih sidir tiga kali. Afdhalnya, yang
memandikan mengenakan sarung tangan (kain atau karet) sebelah kiri untuk
membasuh dan membersihkan farjinya.
9. Pada
saat memandikan yang pertama dan kedua, hendaklah mengusap (mengurut)
perutnya dengan lembut, kecuali jika mayat wanita itu mengan-dung anin
yang meninggal.
10. Memabasuh kedua tangan dan kedua farjinya, masing-masing tiga kali.
11. Membasuh masing-masing anggota tubuh tiga kali. Jadi, jumlah basuhan keseluruhannya adalah 27 kali basuh.
12. Pada
saat membasuh disertai mengusap tubuhnya dengan tangan yang memandikan
supaya lebih mantap, kecuali dikhawatirkan akan terkelupas sesuatu dari
tubuhnya, maka cukup menyiramkan air padanya.
13. Setiap basuhan tiga kali dimulai dari sisi kanan kepalanya.
14. Hendaklah yang memandikan berdiri di sisi kanan mayat.
15. Setelah itu menyeka (mengusap) tubuhnya dengan kain handuk bersih atau sejenisnya.
16. Jika orang yang memandikan mayat hendak langsung mengafaninya, hendaknya ia membasuh kedua kakinya dari mulai kedua lutut.
17. Jangan menampakkan aib (cacat) di badannya apabila melihatnya.
18. Selama memandikan mayat berlangsung, sebaiknya ia menyibukkan dengan berzikir dan beristighfar, seperti mengulang-ulang bacaan:
رَبِّ عَفْوُكَ عَفْوُكَ
rabbi 'afwuka 'afwuka
Wahai Tuhanku, aku memohon ampunan dan maaf-Mu.
Ketika membolak-balikkan mayat mukmin, hendaklah mengucapkan:
اللّهُمَّ
هَذَا بَدَنُ عَبْدِكَ الْمُؤْمِنِ وَقَدْ أَخْرَجْتَ رُوْحَهُ مِنْ
بَدَنِهِ وَفَرَّقْتَ بَيْنَهُمَا، فَعَفْوُكَ عَفْوُكَ
allâhumma hâdza badanu 'abdikal mu`mini wa qad akhrajta rûhahu min badanihi wa farraqta baynahuma, fa 'afwuka 'afwuka.
Ya
Allah, inilah jasad hamba-Mu mukmin yang Engkau keluarkan ruhnya dari
jasadnya, dan Engkau telah memisahkan antara keduanya, maka kami memohon
ampunan dan maaf-Mu.
Hal-hal yang Dimakruhkan
1. Posisi yang memandikan mayat berada di antara kedua kakinya.
2. Memotong rambut kepala atau rambut sekitar farjinya.
3. Mencabuti (memotong) rambut ketiaknya.
4. Memotong kumisnya.
5. Memotong kukunya.
6. Memandikan mayat dengan air hangat yang dipanaskan dengan cara apapun, kecuali dalam keadaan mendesak.
7. Mengalirkan air ghusâlah
(air bekas memandikan mayat) ke tempat pembu-angan kotoran manusia
(spitèng=jawa). Tetapi disunahkan agar dialirkan ke tempat khusus yang
telah disediakan, atau pada tanah yang telah digali sebelumnya.
8. Mendudukkan mayat ketika mayat dimandikan.
9. Merapikan rambutnya.
10. Membersihkan kotoran kukunya.
11. Berlebihan dalam menggunakan air ketika memandikan mayat.
12. Mengusap perutnya jika mayat wanita dalam keadaan hamil.
Tata Cara Memandikan Mayat
Anda wajib mengetahui beberapa persyaratan di bawah ini sebelum memulai memandikan mayat, yaitu:
1. Niat qurbatan ilallâhi ta’âla (niat memandikan mayat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala).
2. Kesucian air.
3. Menghilangkan benda najis dari anggota badan mayat. Bahkan menurut ihtiyâth
(wajib) berusaha mencari dan menghilangkannya dari seluruh anggota
badan sebelum dimandikan dengan air yang tiga macam [air sidir, air
kâfûr (barus) dan air murni].
4. Menghilangkan
benda-benda yang menghalangi sampainya air ke kulit mayat, seperti cat,
minyak, tèr dan lain sebagainya. Membersihkan kotoran pada rambutnya
dan mencari penghalang apabila diragukan keberadaannya.
5. Kemubahan air. Maksudnya bukan air ghashab
(yakni air yang digunakan untuk memandikan mayat diperolehnya dari
hasil rampasan, curian ataupun memilikinya secara tidak sah). Juga
segala sarana dan tempat yang digunakan untuk keperluan mayat, baik itu
sidir, kâfûr dan lain-lainnya. Dan apabila tidak mengetahui sebab ghashab-nya
salah satu dari sarana tersebut, atau karena lupa sehingga setelah
mayat dimandikan diketahuinya, maka tidak wajib mengulangi
memandikannya.
Kemudian setelah itu mayat dimandikan dengan tiga macam air untuk tiga kali mandi secara berurutan:
· Pertama,
dengan air sidir. Yakni, air mutlak atau air murni yang dibubuhi sidir
sekedarnya, dan menjaga agar air tersebut tetap menjadi air mutlak.
· Kedua,
dengan air kâfûr (barus). Yakni, air mutlak yang dibubuhi kâfûr
sekedarnya, dan menjaga agar air tersebut tetap menjadi air mutlak.
· Ketiga, dengan air murni. Yakni, air mutlak atau air murni yang tidak bercampur dengan sesuatu pun.
Sedangkan
tata cara setiap memandikan mayat dengan ketiga macam air tersebut,
sebagaimana cara mandi janabah (orang junub). Dimulai menyiram seluruh
bagian kepala dan leher; lalu separuh tubuh bagian kanan; dan separuh
tubuh bagian kiri. Sementara itu dalam memandikan mayat tidak boleh
dilakukan secara irtimâsî, yaitu menenggelamkan seluruh tubuh mayat
sekaligus ke dalam bak air atau selainnya. Dengan demikian, hendaknya
cara memandikan mayat dengan sarana yang lengkap dan memadai sesuai
tuntutan syariat Islam.
Hukum-hukum Memandikan Mayat
1. Kalau uzur (tidak diperoleh) salah satu bahan campuran, kâfûr (barus)* atau sidir. Atau uzur keduanya (kâfur dan sidir), maka ada beberapa cara lain:
a) Tidak ada sidir, namun hanya ada kâfûr (barus).
· Pertama: Dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada sidir.
· Kedua: Dimandikan dengan kâfûr (barus).
· Ketiga: Dimandikan dengan air murni.
b) Tidak ada kâfûr, namun hanya ada sidir.
o Pertama: Dimandikan dengan air sidir.
o Kedua: Dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada kâfûr (barus).
o Ketiga: Dimandikan dengan air murni.
c) Tidak diperoleh kedua bahan campuran, sidir maupun kâfûr (barus).
§ Pertama: Dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada sidir.
§ Kedua: Juga dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada kâfûr.
§ Ketiga: Dimandikan dengan air murni.
2. Apabila
uzur tidak diperoleh air, maka ditayamumi tiga kali tayamum yang
masing-masing diniatkan sebagai pengganti tidak ada air yang disesuaikan
urutannya. Maksudnya, pertama, diniatkan sebagai pengganti air sidir. Kedua, diniatkan sebagai pengganti air kâfûr. Dan, yang ketiga,
diniatkan sebagai pengganti air murni. Begitu juga dapat dilakukan
tayamum bagi mayat (meskipun ada air), jika meninggalnya sebab terbakar
atau terkena penyakit cacar atau campak. Karena kalau dimandikan (dengan
air) dikhawatirkan terkelupas kulitnya.
3. Jika tidak diperoleh air kecuali hanya sekadar untuk sekali memandikan mayat. Sementara bahan campuran yang ada hanya sidir.
§ Pertama: Dimandikan dengan air sidir.
§ Kedua: Ditayamumi dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni dan bahan campuran kâfûr (barus).
§ Ketiga: Ditayamumi dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni.
4. Dan jika tidak diperoleh kedua bahan campuran (sidir dan kâfûr).
· Pertama: Dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada sidir.
· Kedua: Ditayamumi dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air dan kâfûr (barus).
· Ketiga: Ditayamumi dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni.
5. Tidak diperoleh air, kecuali sekadar cukup untuk dua kali memandikan mayat. Dalam hal ini ada beberapa gambaran:
a. Bahan campuran yang ada hanya sidir.
§ Pertama: Dimandikan dengan air sidir
§ Kedua: Dimandikan dengan air murni dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada kâfûr (barus).
§ Ketiga: Ditayamumi sekali dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni.
b. Bahan campuran yang ada hanya kâfûr (barus).
o Pertama: Dimandikan dengan air mur-ni dan diniatkan sebagai pengganti tidak diperoleh sidir.
o Kedua: Dimandikan dengan air kâfûr (barus).
o Ketiga: Ditayamumi sekali dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni.
c. Bahan campuran yang ada adalah sidir dan kâfûr (barus).
§ Pertama: Dimandikan dengan air sidir.
§ Kedua: Dimandikan dengan air kâfûr (barus).
§ Ketiga: Ditayamumi sekali dan diniatkan sebagai pengganti tidak ada air murni.
5. Kalau
seorang meninggal dunia dalam keadaan berihram di musim haji, maka cara
memandikannya sama seperti yang tersebut di atas. Tetapi pada mandi
yang kedua, air murninya tidak boleh dicampuri dengan kâfûr (barus),
yakni harus dimandikan dengan air murni saja. Kecuali jika meninggalnya
setelah melakukan taqshîr (memotong kuku atau menggun-ting sebagian
rambut kepala) dalam melakukan umrah. Atau setelah usai sa’i (antara
shafa dan marwah) di musim haji. Demikian juga tidak men-tahnîth
(memolesi jenazah yang sudah dimandikan dengan sesuatu bahan pengharum,
misalnya turbah Husainiyah dan selainnya), kecuali meninggalnya setelah
melakukan keduanya (taqshîr dan sa’i). [TW I:70/5]
BAB 3 – TAHNÎTH
Tahnîth adalah
memolesi mayat yang telah dimandikan atau ditayamumkan dengan bahan
pengharum (kâfûr misalnya) pada tujuh anggota sujud. Hal itu hukumnya
wajib kifai, baik jenazah anak kecil maupun orang dewasa. Tetapi tidak
boleh men-tahnîth mayat yang di saat meninggalnya dalam keadaan berih-ram di musim haji. Men-tahnîth adalah sesudah jenazah dimandikan atau di saat jenazah dikafani. Namun afdhalnya sebelum mayat dikafani.
Caranya:
Dengan kâfûr (barus), diambil secukupnya lalu dipoleskan pada
tempat-tempat sujud yang tujuh. Tempat sujud yang dimaksud adalah dahi,
kedua telapak tangan, kedua lutut kaki dan kedua ujung ibu jari kaki.
Dianjurkan menambahkannya pada ujung hidung luar bagian atas; kedua
ketiaknya; leher (di bawah tenggorokan); setiap persendian tubuh; kedua
telapak tangan; kedua telapak kaki; bahkan setiap tempat yang
menimbulkan bau tidak sedap.
Meng-hanuthi dimulai dari dahi, sedangkan tempat-tempat sujud selainnya boleh memilih.
BAB 4 – KAFAN
Mengafani
jenazah adalah wajib kifai, baik jenazah laki-laki, perempuan,
anak-anak ataupun waria. Wajib mengafaninya dengan tiga helai kain
putih.
Cara Mengafani Jenazah
· Pertama: Mi`zâr, yaitu kain putih polos yang tidak bertuliskan yang disarungkan di mana dapat menutupi dari pusar sampai kedua lutut kaki.
· Kedua: Qamîsh,
yaitu kain bertuliskan sejenis baju panjang yang dapat menutupi kedua
bahunya sampai separuh betis kedua kakinya. Dan kain ini berlubang.
· Ketiga: Izâr,
yaitu kain lepas yang dapat menutupi seluruh badannya. Ukuran panjang
kain harus melebihi panjang tubuh jenazah, sementara lebarnya sekadar
kedua sisinya bertemu (sekali putar).
Ketiga
potong kain tersebut merupakan kafan-wajib, baik untuk laki-laki maupun
wanita. Adapun selainnya adalah tambahan (sunah).
1. Kain
putih polos yang tidak bertuliskan, letaknya paling luar yang sekaligus
menutupi dan membungkus ketiga kain kafan-wajib tersebut.
2. Kain berbentuk segi tiga bertuliskan sebagai mekena jenazah wanita.
3. Kain panjang (1 meter lebih) dan lebar (20 cm) bertuliskan sebagai sorban jenazah laki-laki.
4. Kain berbentuk kubus bertuliskan yang dapat diletakkan di atas qamîsh, atau untuk menutupi muka.
5. Kain penutup aurat.
6. Tali sebagai pengikat bagian luar kafan.
7. Dan lain-lainnya.
Untuk mempermudah mengafani jenazah, berikut ini kami berikan gambaran ringkasnya:
Setelah
jenazah dimandikan secara sempurna, selanjutnya membentangkan kain
putih polos tidak bertuliskan (no.1) di atas dipan kosong, lalu secara
berurutan membentangkan kain izâr di atasnya lalu berikutnya adalah qamîsh yang separuh dibuka ke arah atas kepala jenazah sehingga sobekan kain berlubang berada di luar, lantas mi`zâr.
Setelah itu, jenazah diangkat dan diletakkan di atas bentangan
kain-kain tersebut. Kemudian satu per satu membungkus dan merapikan izâr, qamîsh, mi`zâr dan akhirnya kain putih polos yang membungkus jenazah dengan rapi. Lalu ujungnya diikat dengan tali yang telah ada. Untuk qamîsh
yang bertuliskan posisinya berada di bagian depan (perut dan dada)
jenazah, lalu kepala jenazah dimasukkan ke lubang sobekan yang sudah
ada. Sementara itu sebelum kain mi`zâr membungkus jenazah,
hendaklah kain tambahan no. 2 dikenakan sebagai mekena jika jenazah itu
wanita; dan kain tambahan no. 3 dikenakan sebagai sorban jika jenazah
itu laki-laki. Dan adapun kain no. 3 bagi jenazah wanita dapat dijadikan
sebagai kutang untuk menutupi payudara yang diikatkan ke punggungnya.
Sedangkan kain no. 2 bagi jenazah laki-laki dapat diletakkan pada
dadanya di atas qamîsh.
Kain
tambahan tersebut merupakan kain yang bertuliskan ayat, doa dan
sebagainya yang amat bermanfaat. Insya Allah Ta’ala dapat menolong
(menya-faati) kita di alam barzakh. Selanjutnya untuk lebih jelasnya,
lihat kain kafan produksi penulis buku ini.
Syarat-syarat Kafan
1. Mubah. Tidak diperbolehkan mengafani jenazah dengan kain maghshûb (yakni kain yang dimiliki dan digunakan secara tidak sah). Walaupun dalam keadaan terpaksa.
2. Suci. Tidak boleh mengafani jenazah dengan kain najis. Seperti kafan kulit bangkai.
3. Tidak terbuat dari sutera, meskipun jenazah adalah wanita atau anak kecil.
4. Tidak
terbuat dari bagian binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan, atau
rambutnya, atau bulunya. Tidak juga dengan kulit binatang yang dagingnya
boleh dimakan.
5. Jika adanya hanya kain najis, atau terbuat dari sutera, atau selain keduanya, maka dalam persoalan ini ada dua gambaran:
· Pertama: Yang ada hanya salah satu dari jenis kafan tersebut di atas, maka boleh mengafaninya dengan kafan tersebut.
· Kedua:
Jika yang ada lebih dari satu jenis kafan tersebut, hendaklah
mendahulukan dengan kain kafan najis. Jika kain kafan najis tidak ada,
boleh dengan kain kafan sutera. Dan apabila kain kafan sutera tidak ada,
maka dengan kain kafan yang terbuat dari kulit binatang yang dagingnya
boleh dimakan.
BAB 5 – JARÎDATAIN
Termasuk amalan sunah yang amat dianjurkan adalah menyertakan dua batang pelepah basah dan segar (jarîdatain)
bersama jenazah dalam kubur. Baik itu untuk jenazah anak kecil atau
dewasa; laki-laki maupun perempuan. Untuk menyertakannya bagi jenazah
anak kecil, dilakukan secara rajâ`an (dengan mengharap semoga amalan tersebut diterima oleh-Nya).
Disebutkan
dalam suatu khabar bahwa jarîdatain bermanfaat bagi jenazah mukmin,
kafir, orang baik maupun orang jahat. Selama jarîdatain itu dalam
keadaan basah akan menghindarkan (baca: meringankan) mayat dari azab
kubur. Dalam sebuah khabar bahwa Nabi saw ketika melewati pekuburan,
beliau mendengar suara rintihan dari dalam kubur yang sedang diazab.
Kemudian beliau meminta pelepah pohon korma yang masih hijau dan segar
lalu membelahnya menjadi dua. Salah satunya diletakkan di atas kubur
bagian kepala, dan yang satunya lagi di bagian kakinya seraya
mengatakan, ‘selama kedua pelepah ini basah akan meringankan ia dari
azab kubur.’ Dan dalam sebagian khabar, bahwa Adam as mewasiatkan agar
meletakkan jarîdatain dalam kafannya.’ Tradisi ini biasa diamalkan para
Nabi, dan ditinggalkan pada masa jahiliah. Kemudian Nabi saw
menghidupkannya kembali.
Afdhalnya,
dari pelepah pohon korma. Jika tidak diperolehnya, boleh dari pohon
bidara (sidir). Apabila pelepah pohon bidara tidak ada, boleh dari pohon
delima. Kalau pun pelepah pohon delima tidak diperoleh juga, boleh dari
jenis pohon apa saja, asalkan dalam keadaan basah dan segar. Sebaiknya
ukuran kadarnya sebesar hasta tangan (normal), dan panjangnya sekitar 40
cm.
Caranya: Salah satunya diletakkan di samping kanan tubuh jenazah hingga melekat pada jasadnya dan di bawah lapisan qamîsh. Sedangkan yang satunya, diletakkan di samping kiri di atas qamîsh di bawah lapisan izâr.
BAB 6 – SHALAT JENAZAH
Menyalati
jenazah Muslim, hukumnya adalah wajib kifai. Dan tidak dibedakan antara
jenazah orang adil, fasik, mati syahid dan selainnya, sampai pun
jenazah pelaku dosa besar. Bahkan mati karena bunuh diri secara sengaja.
Tidak boleh menyalati jenazah dari kaum kafir (dengan segala macamnya)[1], meskipun murtad secara fitrî maupun millî yang mati tanpa taubat.[2] Dan seperti itu pula, kendati beragama Islam namun tergolong nâshibî atau khawârij.[3] Juga, tidak wajib menyalati jenazah anak kecil Muslim kecuali usianya telah mencapai enam tahun.
Adab Menyalati Jenazah
1. Sebelum
shalat dilaksanakan, hendaklah si imam-shalat mengajak yang hadir
dengan melafazkan kalimat di bawah ini yang kedudukannya seperti iqomat:
الصَّلاَةْ، الصَّلاَةْ، الصَّلاَةْ
ash-Shalâh, ash-Shalâh, ash-Shalâh,
2. Hendaklah
mushalli (pelaku shalat) dalam keadaan suci dari hadas kecil (berwudhu`
atau tayamum) maupun suci dari hadas besar (mandi-wajib atau tayamum).
3. Apabila
dilakukan shalat jenazah berjamaah, maka posisi imam-shalat berdiri di
hadapan tengah jenazah laki-laki; dan berdiri di depan bagian dada, jika
jenazah itu perempuan. Demikian juga jika dilakukan shalat jenazah
munfarid (sendiri).
4. Mengangkat kedua tangan pada setiap takbir. Terutama untuk takbir yang pertama.
5. Menentukan tempat shalat yang tersedia, layak dan wajar.
6. Tidak melakukannya di masjid, karena hal itu hukumnya makruh, kecuali di Masjidil Haram.
7. Dilaksanakannya berjamaah.
Syarat-syarat Menyalati Jenazah
1. Niat. Boleh niat dengan melafazkan:
أُصَلِّى عَلَى الْمَيِّتِ قُرْبَةً إِلَى اللهِ تَعَالَى
ushalli 'alal mayyiti qurbatan ilallâhi ta'âla
Saya (akan) shalat untuk mayat ini dengan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
2. Untuk
menghilangkan keraguan, hendaklah menentukan jenis jenazah yang di
hadapi, laki-laki atau perempuan, atau anak kecil misalnya. Atau,
mengikuti yang telah ditentukan dan diumumkan oleh keluarganya atau imam
shalat.
3. Menghadap ke arah Kiblat.
4. Hendaklah mushalli (pelaku shalat) dengan posisi berdiri tegak.
5. Jenazah diletakkan di hadapan pelaku shalat (imam-shalat)
dengan posisi telentang, sementara kepalanya di sebelah kanan mushalli
dan kakinya di sebelah kirinya. Demikian pula jika dilaksanakan shalat
jenazah sendiri.
6. Tidak
ada batas penghalang antara mushalli dengan jenazah, seperti tembok,
kain dan selainnya itu. Tidak mengapa kalau jenazah berada di dalam peti
atau keranda.
7. Tidak
ada jarak yang berlebihan, antara mushalli dengan jenazah, sehingga
terkesan bahwa imam atau mushalli tidak berdiri di hadapannya, kecuali
bagi makmum yang safnya bersambung dengan saf depannya. Sebagaimana yang
disebutkan dalam bab syarat-syarat shalat berjamaah.
8. Tidak
pula posisi salah satunya lebih tinggi dari yang lain secara
berlebihan. Yakni antara jenazah dan mushalli (pelaku shalat).
9. Jenazah
harus hadir di hadapan mushalli. Tidak sah menyalati jenazah, sementara
jenazah ghaib (tidak hadir), meskipun dalam satu daerah.
10. Menyalati jenazah setelah jenazah dimandikan, di-tahnîth dan dikafani.
11. Muwâlah.
Yakni, bersambung antara takbir-takbir yang lima beserta doanya,
sehingga tidak terkesan bahwa mushalli tidak melakukan shalat jenazah
semestinya.
Cara Menyalati Jenazah
Menyalati
jenazah dilakukan dengan lima takbir. Tidak boleh kurang dari itu,
kecuali untuk bertaqiah, atau diketahui bahwa mayat adalah seorang
munafik. Shalat jenazah tanpa dilakukan azan, iqomat, bacaan al-Fâtihah, surah selainnya, ruku’, sujud, tasyahud dan salam. Di bawah ini cara yang ringkas:
Takbir pertama, mengucapkan dua kalimat syahadat:
اللهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
allâhu akbar(u), asyhadu an lâ ilâha illallâhu, wa asyhadu anna muhammadan rasûlullâh(i).
Allah Mahabesar, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.
Takbir kedua, mengucap shalawat atas (Nabi) Muhammad dan keluarganya.
اللهُ أَكْبَرُ، اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ
allâhu akbar(u), allâhumma shalli ‘alâ muhammadin wa âli muhammad(in).
Allah Mahabesar, Ya Allah, curahkan rahmat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya.
Takbir ketiga, berdoa bagi Mukminin dan Mukminat:
اللهُ أَكْبَرُ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
allâhu akbar(u), allâhummagh fir lil mu`minîna wal mu`minât(i).
Allah Mahabesar, Ya Allah, ampunilah semua dosa orang-orang Mukmin dan Mukminat.
o Takbir keempat, berdoa bagi jenazah:
اللهُ أَكْبَرُ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لِهذَا الْمَيِّتِ
allâhu akbar(u), allâhummagh fir li hâdzal mayyit(i).
Allah Mahabesar, Ya Allah, ampunilah semua kesalahan mayat yang membujur di hadapanku ini.
o Takbir kelima, selesai.
اللهُ أَكْبَرُ
allâhu akbar(u),
Allah Mahabesar,
· Dan jika mayat tersebut tidak diketahui identitas (keadaan) sebenarnya, maka setelah takbir keempat:
اَللّهُمَّ إِنْ كَانَ يُحِبُّ الْخَيْرَ وَأهْلَهُ فَاغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَتَجَاوَزْ عَنْهُ.
allâhumma in kâna yuhibbul khayra wa ahlahu fagh fir lahu war hamhu wa tajâwaz ‘anhu.
Ya Allah, jika ia termasuk orang yang suka berbuat kebaikan, maka kasihanilah dan ampunilah dosa serta kesalahannya.
· Dan adapun jika mayat itu anak kecil:
اَللّهُمَّ اجْعَلْهُ لأَبَوَيْهِ وَلَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا وَأجْرًا
allâhummaj ‘alhu li abawayhi wa lanâ salafan wa farathan wa ajran.
Ya Allah, curahkan pahala untuk kedua orang tuanya dan kami sebagai generasi terdahulu.
· Sebaiknya setelah usai melaksanakan shalat mayat, berdoa dengan doa:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Ya Tuhan kami, limpahkan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, serta hindarkan kami dari siksa neraka.
BAB 7 – MELAYAT JENAZAH
Dianjurkan bagi wali mayat (shâhibul mushîbah)
memberitahukan ke segenap kaum Mukmin mengenai kematian pihak
keluarganya, dimaksudkan agar mereka menghadiri jenazah, menyalati dan
memohonkan ampunan baginya. Seyogiayanya kaum Mukmin segera datang
bertakziah. Dalam riwayat disebutkan, ‘Apabila seseorang diundang untuk
menghadiri walimah dan menghadiri jenazah dalam waktu yang sama, maka
harus mendahulukan datang menghadiri jenazah. Karena hal itu
mengingatkan akhirat, sedangkan walimah mengingatkan dunia. Sungguh
memiliki keutamaan besar bagi siapa saja yang beramal saleh dengan
menyalati dan mengantarkan jenazah hingga dikebumikan, maka baginya
berhak beroleh pahala besar.’
Rasulullah
saw bersabda: “Siapa saja yang melayat jenazah (Muslim), maka dengan
begitu untuk setiap langkah kakinya akan beroleh (pahala) seratus juta
kebaikan dan dihapuskan baginya seratus juta keburukan (dosa) serta ia
diangkat sampai dengan seratus juta derajat. Dan apabila ia melakukan
shalat atasnya, seratus juta malaikat mengikutinya (shalat), kesemuanya
memohonkan ampunan baginya. Barang siapa menyaksikan pemakamannya, Allah
mewakilkan seratus juta malaikat untuk memohonkan ampunan baginya
sampai dibangkitkan dari kuburnya. Dan barang siapa melakukan shalat
atasnya, niscaya shalat pula Jibril beserta tujuh puluh juta malaikat
lainnya, dan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Apabila ia mengantar
jenazah sampai ke pemakaman dan melihatnya dimasukkan ke liang kubur,
lalu ditimbuni (diuruki) tanah, maka untuk setiap langkah dan dari mana
ia mengikutinya hingga ia kembali ke rumahnya, beroleh seqîrâth pahala,
sedangkan satu qîrâth besarnya diumpamakan segunung Uhud.” Dan masih banyak lagi riwayat serupa itu yang tercantum dalam kitab hadis.
Adab Mengantar Jenazah
1. Pada saat melihat jenazah, mengucapkan:
إِنَّا لله وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، الله أَكْبَرُ، هذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ،
اَللّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا وَتَسْلِيْمًا، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي تُعَزِّزُ بِالْقُدْرَةِ، وَقَهَرَ الْعِبَادَ بِالْمَوْتِ.
innâ
lillâhi wa innâ ilayhi râji'ûn(a), allâhu akbar(u), hâdza ma
wa'adanallâhu wa rasûluhu, wa shadaqallâhu wa rasûluhu, allâhumma zidnâ
îmânan wa taslîman, alhamdu lillâhil ladzî tu'azzizu bil qudrati, wa qaharal 'ibâda bil mawt(i).
Sesungguhnya
kita milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali. Allah Mahabesar,
kematian inilah yang telah Allah dan Rasul-Nya janjikan kepada kami,
sedangkan (pernyataan) Allah dan Rasul-Nya adalah benar. Ya Allah,
tambahkan kami keimanan dan kepasrahan. Segala puji bagi Allah Yang
Mahamulia dengan kekuasaan-Nya. Dan yang telah menetapkan kematian bagi
hamba-Nya.
Doa
di atas tidak khusus untuk pelayat saja, tetapi dianjurkan bagi siapa
saja yang melihat jenazah. Di samping itu disunahkan juga membaca doa:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي لَم يَجْعَلْنِي مِنَ السَّوَادِ الْمُخْتَرَمِ.
alhamdu lillâhil ladzî lam yaj'alnî minas sawadil mukhtaram(i)
Segala puji bagi Allah, yang belum mengantarku menuju kematian.
2. Sebelum
jenazah di bawa ke pekuburan, terlebih dulu mengumpulkan 40 orang
Mukmin untuk berdiri di sekitar jenazah, kemudian masing-masing mereka
mengisyaratkan dengan telunjuk jari kanannya ke arah jenazah sambil
mengucap doa berikut:
اللّهُمَّ إِنَّا لاَ نَعْلَمُ مِنْهُ إِلاَّ خَيْرًا، وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا
allâhumma innâ lâ na'lamu minhu illa khayran, wa anta a'lamu bihi minnâ
Ya
Allah, sesungguhnya kami tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, dan
Engkau lebih mengetahui daripada kami tentang keadaannya.
3. Ketika membawa jenazah seraya mengucap:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
aismillâhi wa billâhi wa shallallâhu 'ala muhammdin wa âli muhammadin, allâhumagh fir lil mu`minîna wal mu`minât(i)
Dengan
nama Allah dan dengan perkenan-Nya, semoga rahmat-Mu senantiasa
tercurahkan atas Nabi Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah,
ampunilah dosa dan kesalahan kaum mukmin dan mukminat.
4. Membawanya
diletakkan di atas bahu, dan bukan di atas kendaraan atau sejenisnya,
kecuali karena uzur, seperti jarak menuju ke pekuburannya yang jauh,
atau uzur lainnya.
5. Pengantar
jenazah dalam keadaan khusyuk, tafakur serta membayangkan bahwa
seakanakan ia (sendiri) yang sedang diantar ke pekuburan, jika memohon
kembali ke dunia, maka dikabulkan.
6. Berjalan
kaki menuju ke pekuburan, sedangkan berkendaraan hukumnya adalah
makruh, kecuali karena uzur. Tidak mengapa sepulangnya dari melayat.
7. Pengantar mengikuti dari belakang atau samping keranda jenazah. Afdhalnya di belakang usungan jenazah. Dan jangan mendahuluinya.
8. Setiap pelayat yang hendak membawa usungan jenazah, sebaiknya dilakukan secara tarbî’. Yakni, memikulnya pada empat sudut keranda secara bergantian. Afdhalnya, pertama, dimulai dari sudut depan sebelah kiri keranda jenazah dan memikulnya dengan bahu kanan. Kedua, lalu mundur ke belakang pada sudut sebelah kiri keranda dan memikulnya dengan bahu kanan. Ketiga, bergeser ke sudut belakang sebelah kanan keranda dan memikulnya dengan bahu kiri. Dan, yang keempat, maju ke depan beberapa langkah lalu memikulnya dengan bahu kiri pula.
9. Bagi keluarga yang tertimpa musibah, jika memungkinkan berjalan kaki tanpa beralaskan sandal atau selainnya, dan menanggalkan rida`-nya
(sejenis sorban yang disampirkan di atas bahu). Atau, mengenakan
pakaian yang sesuai dan berbeda dari selainnya, sehingga berkesan dan
dengan mudah dapat dikenali oleh para pelayat bahwa mereka adalah
keluarga yang sedang berduka-cita. (Ada yang mengenakan baju berwarna
hitam. Dan tradisi ini juga dilakukan oleh pengikut mazhab Ahlulbait
as.)
Beberapa Hal Dimakruhkan Ketika Mengantar Jenazah
1. Tertawa, bersendagurau dan bermain-main.
2. Menanggalkan rida`-nya bagi pelayat selain keluarga musibah.
3. Wanita ikut mengantar jenazah, kendati si mayat adalah wanita.
4. Membawa jenazah dengan berjalan cepat, sehingga jenazah nampak tergoyang sangat. Sebaiknya berjalan sedang dan santai.
5. Diikutinya
dengan obor atau lampu minyak, jika mayat dikuburkan di malam hari.
Akan tetapi tidak mengapa, jika dengan lampu yang digerakkan oleh
battery atau sejenisnya.
6. Bangkit
berdiri dari tempat duduk ketika secara kebetulan jenazah melewati di
hadapannya. Walhal, waktu itu ia dalam keadaan duduk. Kecuali jika
jenazah yang lewat adalah dari golongan kafir, justeru dianjurkan
berdiri.
7. Berbicara
tanpa berzikir dan berdoa serta beristighfar selama melayat jenazah.
Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat, seyogianya tidak memberi salam
kepada pengantar jenazah.
BAB 8 – PEMAKAMAN JENAZAH
Pemakaman
atau penguburan jenazah seorang Muslim, hukumnya adalah wajib kifai.
Yaitu dengan cara memasukkan jenazah ke dalam liang lahad yang telah
disediakan, dan diletakkan pada posisi yang semestinya. Yakni,
dibaringkan sedangkan bagian samping kanannya berada di bawah dan
melekat dengan bumi, sementara wajah, dada dan perutnya di hadapkan ke
arah kiblat. Kemudian di atasnya diberi papan atau bambu supaya tanah
yang ditimbunkan padanya tidak mengenai jenazah yang baru tersebut.
Setelah itu tanah galian dimasukkan kembali untuk menutupi seluruh liang
lahad demi menjaga dari gangguan binatang buas dan menghindarkan baunya
dari manusia.
Sunah-sunah Pemakaman
1. Ketika menentukan lokasi kubur seraya berdoa:
اللّهُمَّ اجْعَلْهُ رَوْضَةً مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، وَلاَ تَجْعَلْهُ حُفْرَةً مِنْ حُفَرِ النَّارِ
allâhummaj 'alhu rawdhatan min riyâdhil jannati, wala taj'alhu hufratan min hufarin nar(i)
Ya
Allah, jadikanlah sepetak lubang ini sebuah taman di antara taman-taman
sorga, dan janganlah Engkau jadikan liang kubur ini di antara
lubang-lubang neraka.
2. Hendaklah kedalaman kubur setinggi bahu atau setinggi manusia normal ketika berdiri.
3. Seyogianya bentuk lahad empat persegi panjang yang sisi panjangnya menghadap ke arah kiblat.
4. Ketika
mengangkat jenazah dari usungan keranda yang akan dimasukkan ke liang
lahad, hendaknya dilakukan secara perlahan dan lembut (jangan kasar)
seraya berdoa:
بِسْمِ
اللهِ وَبِاللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ)، اللّهُمَّ إِلَى رَحْمَتِكَ لاَ إِلَى عَذَابِكَ،
اللّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَلَقَّنَهُ فِي حُجَّتِهِ،
وَثَبِّتْهُ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ، وَقِنَا وَإِيَّاهُ عَذَابَ
الْقَبْرِ.
bismillâhi wa billâhi wa 'ala millati rasûlillâh(i) (shallallâhu 'alayhi wa âlihi wa sallama), allâhumma ila rahmatika la ila 'adzâbika, allâhummaf sah lahu fî qabrihi, wa laqqanahu fî hujjatihi, wa tsabbit-hu bil qawlits tsâbiti, wa qinâ wa iyyâhu 'adzâbal qabri.
Dengan
nama Allah, atas perkenan Allah dan di atas lintasan agama yang dibawa
oleh Rasulullah saw. Ya Allah, (ia kini tengah) menuju ke rahmat-Mu,
bukan menuju ke azab-Mu. Ya Allah, lapangkanlah dalam kuburnya,
bimbinglah ia dalam berhujah, dan kukuhkanlah ia dalam menyampaikan qawl tsâbit serta lindungi kami dan ia dari siksa kubur.
5. Tidak
tergesa dalam menangani jenazah yang hendak dimasukkan ke liang lahad.
Bahkan sebelum itu, jenazah yang masih di dalam keranda diletakkan dekat
kuburnya sekira 1.5 meter. Kemudian dimajukan sedikit dan bersabar
sejenak, lalu dimajukan sedikit lagi dan bersabar sebentar, lantas
dimajukan pada kali yang ketiga secara perlahan hingga pada tepian
kubur, agar jenazah mempersiapkan untuk disoal. Bahkan makruh hukumnya
memasukkan jenazah ke liang lahad tergesa-gesa dan sekaligus, karena di
dalam kubur ada suatu keadaan yang amat sangat menakutkan dan
mengerikan. Oleh karena itu, kita harus memohon perlindungan dari Allah
Ta’ala dari hal yang demikian itu. Dan jika jenazah itu laki-laki,
ketika meletakkan keranda pada kali yang terakhir sehingga posisi
keranda bagian kepala jenazah berdekatan dengan posisi kubur bagian kaki
jenazah pada saat di dalam kubur. Kemudian diangkatnya dari keranda
secara perlahan lalu diturunkan secara lembut dengan mendahulukan
kepalanya. Dan jika jenazah itu perempuan, ketika meletakkan keranda
pada kali yang terakhir adalah membujur searah dengan liang lahad.
Kemudian diangkatnya dari usungan secara perlahan dan menurunkan seluruh
jasadnya dengan lembut, lantas diterima oleh pihak keluarganya
(muhrimnya) yang sudah menanti di liang lahad dan siap menerima, yang
selanjutnya meletakkannya di atas dasar liang lahad.
6. Berdoa ketika mengangkat dan hendak meletakkannya pada liang lahad:
اللّهُمَّ هذَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ نَزَلَ بِكَ، وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِه
Ya
Allah, inilah hamba-Mu dan putra hamba-Mu serta putra dari putri
hamba-Mu, ia datang menghampiri-Mu. Dan Engkau-lah sebaik-baik untuk
dikunjungi.
Kemudian dilanjutkan dengan doa:
اللّهُمَّ جَافِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَصَاعِدْ عَمَلَهُ وَلَقِّهِ مِنْكَ رِضْوَانًا
allâhumma jafil ardhi 'an jambayhi, wa shâ'id 'amalahu wa laqqihi minka ridhwâna(n)
Ya Allah, tahanlah (tanah ini dari himpitan) kedua sisi-nya, terimalah amal baiknya, dan temuilah ia dengan keridhaan-Mu.
7. Ketika
memasukkan jenazah perempuan, hendaklah menutupinya dengan kain atau
sejenisnya yang dibentangkan di atas lahad dan masing-masing ujung kain
dipegangi oleh pelayat.
8. Hendaklah
segera untuk menurunkan jenazah perempuan, dan melepas ikatan-ikatan
kafan yang dilakukan suaminya atau muhrimnya. Jika tidak ada, maka
diupayakan dari keluarga dekat mereka. Lantas orang selain mereka.
Sedangkan suami lebih afdhal daripada semua itu.
9. Setelah jenazah diletakkan dalam liang lahad, kemudian membaca beberapa doa berikut ini:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ
bismillâhi wa billâhi wa 'ala millati rasûlillâh(i
Dengan nama Allah, atas perkenan Allah dan di atas lintasan agama yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Lalu surah al-Fâtihah,
ayat Kursî, al-Falaq, an-Nâs, al-Ikhlâsh dan ta’awwudz [a’ûdzu billâhi
minasy syaythânir rajîm(i)]. Dan selagi masih sibuk menangani jenazah
dalam kubur, bacalah:
اللّهُمَّ
صِلْ وَحْدَتَهُ، وآنِسْ وَحْشَتَهُ، وَآمِنْ رَوْعَتَهُ، وَأَسْكِنْهُ
مِنْ رَحْمَتِكَ تُغْنِيْهِ بِهَا عَنْ رَحْمَةٍ مَنْ سِوَاكَ، فَإِنَّمَا
رَحْمَتُكَ لِلظَّالِمِيْنَ.
allâhumma shil wahdatahu, wa ânis wahsyatahu, wa âmin raw'atahu, wa askin-hu min rahmatika tughnîhi biha 'an rahmatin man siwâka, fa innama rahmatuka lidh dhâlimîn(a).
Ya
Allah, dekatilah kesendiriannya, hiburlah ketakutannya, tenteramkan
kegelisahannya, tenangkan ia dengan rahmat-Mu, yang dengannya tidak
membutuhkan kepada selain-Mu. Sesungguhnya rahmat-Mu layak dicurahkan
atas orang-orang yang teraniaya.
10. Kemudian melepas semua ikatan kafan. Dimulai dari ujung kepala.
11. Menampakkan
wajahnya dan melekatkan pipinya pada tanah dan menjadikan tanah sebagai
bantalnya. Lantas bagian punggungnya diberi ganjalan batu atau tanah
li-at supaya jenazah tidak terlentang.
12. Hendaklah
bagi yang turun ke liang lahad dalam keadaan suci dari hadats, terbuka
kepalanya (tidak berkopiah atau sejenisnya), melepas kancing-kancing
baju, menanggalkan sorban, rida` dan kedua alas kakinya.
13. Setelah
usai meletakkan jenazah dalam liang lahad dan sebelum ditutupi dengan
kayu atau selainnya, hendaklah menalkinkan jenazah dengan
ungkapanungkapan akidah yang haq yang termasuk prinsip-prinsip
mazhabnya.
Caranya:
Menepuk bahu kanan jenazah dengan tangan kanan, dan meletakkan tangan
kiri pada bahu kiri jenazah dengan kuat. Kemudian membisikkan ke
telinganya sambil menggerak-gerakkan bahunya dengan kuat seraya membaca
doa talkin berikut:
يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ ........ sebutkan nama mayat dan nama bapaknya
إِسْمَعْ
إِفْهَمْ (×3) اللهُ رَبُّكَ، وَمُحَمَّدْ نَبِيُّكَ، وَاْلإِسْلاَمُ
دِيْنُكَ، وَالْقُرْآنُ كِتَابُكَ، وَعَلِيٌّ إِمَامُكَ، وَالْحَسَنُ
إِمَامُكَ، وَالْحُسَيْنُ إِمَامُكَ، وَعَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنْ
إِمَامُكَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ إِمَامُكَ، وَجَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ
إِمَامُكَ، وَمُوْسَى بْنُ جَعْفَرٍ إِمَامُكَ، وَعَلِيُّ بْنُ مُوْسَى
إِمَامُكَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ إِمَامُكَ، وَعَلِيُّ بْنُ َمُحَمَّدٍ
إِمَامُكَ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ إِمَامُكَ، وَالْحُجَّةُ بْنُ
الْحَسَنِ الْقَآئِمِ الْمَهْدِيِّ إِمَامُكَ، أَ فَهِمْتَ يَا فُلاَنْ؟
ثَبَّتَكَ
اللهُ بِالْقَوْلِ الثَّـابِتِ، هدَاكَ اللهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ،
عَرَّفَ اللهُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ أَوْلِيَآئِكَ فِي مُسْتَقَرٍّ مِنْ
رَحْمَتِكَ، اللّهُمَّ جَافِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَأَصعَدْ
بِرُوْحِهِ إِلَيْكَ، وَلَقِّهِ مِنْكَ بُرْهَانًا، اللّهُمَّ عَفْوَكَ،
عَفْوَكَ.
yâ fulânab na fulân(in) [sebutkan nama jenazah dan bapaknya] isma’ ifham (3x), allâhu rabbuka, wa muhammad nabiyyuka, wal islâmu dînuka, wal qur`ânu kitâbuka, wa ‘aliyyun imâmuka, wal hasanu imâmuka, wal husaynu imâmuka, wa ‘aliyyub nul husayn(i) imâmuka, wa muhammadub nu ‘aliyy(in) imâmuka, wa ja’farubnu muhammad(in) imâmuka, wa mûsab nu ja’far(in) imâmuka, wa ‘aliyyub nu mûsa imâmuka, wa muhammadub nu ‘aliyy(in) imâ-muka, wa ‘aliyyub nu muhammad(in) imâmuka, wal hasanub nu ‘aliyy(in) imâmuka, wal hujjatub nul hasani al-qâ`imi al-mahdiy(yi) imâmuka, a fahimta yâ fulân …?
tsabbatakallâhu
bil qawlits tsâbiti, hadâkallâhu ilâ shirâthin mustaqîm(in),
‘arrafallâhu baynaka wa bayna awliyâ`ika fi mustaqarrin min rahmatik(a), allâhumma jâfil ardha ‘an janbayhi, wa ash’ad bi rûhihi ilayka, wa laqqihi minka burhânâ(n), allâhumma ‘afwaka ‘afwaka.
Wahai
fulan bin fulan, dengarkan dan pahamilah! (3x), Allah adalah Tuhanmu,
muhammad nabimu, islam agamamu, alqur`an Kitabmu; dan Ali adalah Imammu,
Al-Hasan Imammu, Al-Husain Imammu, Ali bin Al-Husain Imammu, Muhammad
bin Ali Imammu, Ja’far bin Muhammad Imammu, Musa bin Ja’far Imammu, Ali
bin Musa Imammu, Muhammad bin Ali Imammu, Ali bin Muhammad Imammu,
Al-Hasan bin Ali Imammu, Al-Hujjah bin Al-Hasan al-Qâ`im al-Mahdi
Imammu. Pahamkah, wahai fulan …?
Semoga Allah mengukuhkan qawl tsâbit yang engkau ucapkan, dan petunjuk bagimu menuju shirâth mustaqîm,
serta memperkenalkan antara kami dan para kekasih-Mu dengan rahmat-Nya
yang ditetapkan. Ya Allah, bebaskan tanah ini dari (himpitan) kedua
sisinya, dan terimalah ruhnya menemui-Mu untuk menyampaikan hujahnya. Ya
Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah ia lakukan terhadap-Mu.
14. Membaca
doa ma`tsûr. Yakni, doa yang diajarkan Ahlulbait as pada beberapa
keadaan tertentu, seperti ketika mengangkat jenazah dari usungan
keranda; ketika melihat kuburan; ketika menurunkan jenazah ke liang
lahad dan setelahnya; ketika sedang menutup liang lahad dengan bambu,
papan, atau sejenisnya; ketika keluar dari liang lahad; dan ketika
menaburkan tanah ke atasnya; dan lain sebagainya.
15. Sebelum
kubur itu ditimbuni (diuruki) tanah, hendaklah ditutup dengan papan,
bambu, atau sejenisnya agar jenazah tidak kejatuhan tanah secara
langsung.
16. Meninggikan kubur dari permukaan tanah sekira 15 cm.
17. Membentuk kubur empat persegi panjang datar. Dimakruhkan membentuknya sebagai gunungan (setengah lingkaran).
18. Setelah
kubur selesai diuruki tanah, lalu menyiramkan air di atasnya. Cara yang
afdhal, menghadap ke arah kiblat. Dimulai dari bagian atas kepala
sampai ke kaki, kemudian disiramkan pada sekitar kubur tersebut, lalu
sisanya disiramkan pada bagian tengah kubur.
19. Setelah
itu, dari pihak keluarganya meletakkan tangan kanan di atasnya dengan
jari-jari terbuka dan sedikit menekan sehingga membekas, seraya membaca:
بِسْمِ اللهِ خَتَمْتُكَ مِنَ الشَّيْطَانِ أَنْ يَدْخُلَكَ
bismillahi khatamtuka minasy syaythâni an yadkhulaka
Dengan nama Allah, aku telah menghalangimu dari setan yang akan menghampirimu.
· Juga membaca surah al-Qadr (7x), beristighfar dan mendoakan si mayat seperti doa di bawah ini:
اللّهُمَّ
جَافِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَأَصْعِدْ إِلَيْكَ رُوْحَهُ،
وَلَقِّهِ مِنْكَ رِضْوَانًا، وَأَسْكِنْ قَبْرَهُ مِنْ رَحْمَتِكَ مَا
تُغْنِيْهِ بِهِ عَنْ رَحْمَةٍ مَنْ سِوَاكَ.
Ya
Allah, tahanlah (tanah ini dari himpitan) kedua sisinya, dan terimalah
ruhnya mengunjungi-Mu, temuilah ia dengan keridhaan-Mu, tenangkanlah
kuburnya dengan rahmat-Mu, yang dengannya tidak lagi membutuhkan rahmat
kepada selain-Mu.
· Atau dengan membaca doa berikut:
اللّهُمَّ
ارْحَمْ غُرْبَتَهُ، وَصِلْ وَحْدَتَهُ، وآنِسْ وَحْشَتَهُ، وَآمِنْ
رَوْعَتَهُ، وَأَفِضْ عَلَيْهِ مِنْ رَحْمَتِكَ، وَأَسْكِنْ إِلَيْهِ مِنْ
بَرْدِ عَفْوِكَ، وَسِعَةَ غُفْرَانِكَ وَرَحْمَتِكَ يَسْتَغْنِيْ بِهَا
عَنْ رَحْمَةٍ مَنْ سِوَاكَ، وَاحْشُرْهُ مَعَ مَنْ كَانَ يَتَوَلاَّهُ.
allâhummar ham ghurbatahu, wa shil wahdatahu, wa ânis wahsyatahu, wa âmin raw'atahu, wa afidh 'alayhi min rahmatika, wa askin ilayhi min bardi 'afwika, wasi'ata ghufrânika wa rahmatika yastaghnî biha 'an rahmatin man siwâka, wahsyur-hu ma'a man kâna yatawallâhu.
Ya
Allah, kasihanilah keterasingannya, dekatilah kesendiriannya, hiburlah
ketakutannya, amankan kegelisahannya, limpahkan rahmat-Mu padanya,
tenangkan ia dengan sejuknya maaf-Mu, luaskan ampunan dan rahmat-Mu,
yang dengannya ia tidak lagi membutuhkan rahmat kepada selain-Mu,
kumpulkan ia bersama orang-orang yang dicintainya.
20. Amalan-amalan
mustahab (sunah) tersebut tidak hanya diamalkan pada keadaan di atas,
bahkan dimustahabkan (dianjurkan) pula pada setiap berziarah ke makam
mukmin, yang hal itu memiliki berbagai adab dan tata cara tertentu serta
doa-doa khusus yang tercantum dalam buku-buku yang memang menulis untuk
itu.
21. Selepas
jenazah dikuburkan dan para pelayat kembali ke rumah mereka
masing-masing, maka bagi wali atau kepada siapa yang dipercayakan untuk
menalkinkan lagi tentang ushul agama dan mazhabnya dengan suara kuat,
yaitu: Ikrar Tauhid; Ikrar Risalah penghulu para rasul; Ikrar 12 Imam
al-Ma’shûmîn as; Ikrar kepada semua ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw; Ikrar al-Ba’tsu; an-Nusyûr; al-Hisâb; al-Mîzân;
ash-Shirâth; al-Jannah dan an-Nâr. Dan dengan bacaan talkin tersebut,
Insya Allah Ta’ala dapat menolong menghindari persoalan malaikat Munkar
dan Nakir.
22. Para
pelayat (selain dari kaum kerabat yang ditinggal), hendaklah ikut
menaburkan segenggam tanah ke liang lahad di saat liang lahad sedang
ditimbuni (diuruki) tanah.
23. Jika memungkinkan, dikuburkan berdekatan dengan kubur kaum kerabat (keluarga)-nya.
24. Mengukuhkan kubur dengan bangunan atau sejenisnya.
25. Menuliskan namanya pada batu nisan yang letaknya di atas kubur bagian kepala.
Beberapa Hal Dimakruhkan
1. Menguburkan dua jenazah pada satu liang lahad.
2. Memberi
suatu hamparan di atas tanah lahad sebagai alas, sehingga memisahkan
jasad mayat dari tanah, kecuali jika tanah itu dalam keadaan basah.
3. Kaum
kerabat atau pihak keluarga yang ditinggalkan ikut menaburkan tanah ke
dalam liang lahad ketika kubur sedang diuruki tanah. Karena hal itu
menyebabkan berkeras hati.
4. Menutup kubur dan menimbuninya dengan tanah yang bukan miliknya. Karena hal itu akan menyusahkan si mayat.
5. Merehab
atau memperbarui kubur setelah diketahui bahwa mayat itu telah rusak
(total), kecuali makam para Nabi as, makam orang-orang saleh dan ulama
yang baik-baik.
6. Duduk di atas kubur.
7. Bercakap-cakap di sekitar pekuburan, dan berjalan tanpa ada kepen-tingannya.
8. Tertawa di sekitar pekuburan.
9. Bersandar pada kubur.
10. Meninggikan kubur melebihi 15 cm (empat jari tangan yang direnggangkan).
11. Keengganan
seorang ayah turun ke liang lahad anaknya (yang hendak dikuburkan),
karena khawatir akan menimbulkan keibaan terhadapnya sehingga kehilangan
pahala.
Shalat Hadiah
Pada
malam setelah jenazah dikuburkan hari itu, siapa pun dianjurkan
melakukan shalat hadiah untuk si mayat tersebut. Shalat itu dikenal juga
dengan nama Shalat Wahsyah. Dalam suatu khabar
diberitakan: “Tidak akan datang kepada si mayat satu masa yang lebih
dahsyat dan mengerikan daripada awal malam setelah mayat dikuburkan,
maka kasihanilah mayat di antara kamu dengan bersedekah, jika kamu tidak
memperolehnya, shalatlah dua rakaat seperti shalat subuh (yang
pahalanya dihadiahkan kepada si mayat). Berikut ini ada dua cara:
Cara pertama:
Pada rakaat pertama membaca surah al-Fâtihah sekali, dan surah al-Ikhlâsh (2x). Rakaat kedua, membaca surah al-Fâtihah (1x), dan surah al-Takâtsur (10x). Setelah salam berdoa:
اللّهُمَّ صَـلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ ذَالِكَ الْمَيِّتِ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ ... sebutkan nama mayat dan nama bapaknya
allâhumma shalli ‘alâ muhammadin wa âli muhammad(in), wab’ats tsawâbaha ilâ qabri dzâ-likal mayyit(i) fulânab na fulân(in) ...
Ya
Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan
sampaikan pahala shalatku ini ke kubur mayat fulan bin fulan ...
Kalimat
fulânab na fulân(in), diganti dengan nama si mayat dan nama bapaknya.
Selanjutnya dalam riwayat itu dikatakan: “Kemudian, seketika itu pula,
Allah mengutus seribu malaikat ke kuburnya. Setiap malaikat membawa
pakaian dan gaun kebesaran, dan diluaskan kuburnya dari himpitan (kedua
sisinya) sampai hari ditiupnya sangkakala. Sedangkan bagi pelaku shalat
menerima sejumlah kebaikan selama matahari terbit, dan baginya diangkat
sampai empat puluh derajat.”
Cara kedua:
Pada rakaat pertama, membaca surah al-Fâtihah sekali dan ayat Kursî sekali. Rakaat kedua, membaca surah al-Fâtihah sekali dan surah al-Qadr (10x). Setelah salam lalu berdoa seperti doa tersebut di atas.
Afdhalnya, jika dilakukan kedua cara tersebut. Satu Shalat Wahsyah cukup untuk satu mayat. Sementara itu bacaan ayat Kursî sampai dengan hum fîha khâlidîn(a)
Waktu yang afdhal untuk melaksanakan Shalat Wahsyah adalah pada awal malam (setelah shalat maghrib pada waktunya), kendati waktu untuk melaksa-nakannya hingga satu malam penuh.
Seseorang dibolehkan menyewa atau mengambil upah dari melakukan Shalat Wahsyah. Namun sebaiknya dilakukan secara sukarela tanpa mengharap imbalan apa pun dari orang lain. [TW I:96-97]
إِسْمَعْ، إِفْهَمْ يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنْ ...
هَلْ
أَنْتَ عَلَى الْعَهْدِ، الَّذِيْ فَارَقْتَنَا عَلَيْهِ مِنْ شَهَادَةِ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
وَسَيِّدُ النَّبِيِّيْنَ، وَخَاتَمُ الْمُرْسَلِيْنَ، وَأَنَّ عَلِيًّا
أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَسَيِّدُ الْوَصِيِّيْنَ، وَإِمَامُ إِفْتَرَضَ
اللهُ طَاعَتَهُ عَلَى الْعَالَمِيْنَ، وَأَنَّ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ،
وَعَلِيَّ بْنَ الْحُسَيْنِ، وَمُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ، وَجَعْفَرَ بْنَ
مُحَمَّدٍ، وَمُوْسَى بْنَ جَعْفَرٍ، وَعَلِيَّ بْنَ مُوْسَى، وَمُحَمَّدَ
بْنَ عَلِيٍّ، وَعَلِيَّ بْنَ َمُحَمَّدٍ، وَالْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ،
وَالْقَآئِمَ الْحُجَّةَ الْمَهْدِيَّ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ
أَئِمَّةُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَحُجَجُ اللهِ عَلَى الْخَلْقِ أَجْمَعِيْنَ،
وَأَئِمَّتُكَ أَئِمَّةُ هُدًى أَبْرَارُ. يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنْ
.........، إِذَا أَتَاكَ الْمَلَكَانِ الْمُقَرَّبَانِ رَسُوْلَيْنِ مِنْ
عِنْدِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَسَئَلاَكَ عَنْ رَبِّكَ، وَعَنْ
نَيِيِّكَ، وَعَنْ دِيْنِكَ، وَعَنْ كِتَابِكَ، وَعَنْ قِبْلَتِكَ، وَعَنْ
أَئِمَّتِكَ، فَلاَ تَخَفْ، وَقُلْ فِيْ جَوَابِهِمَا: اللهُ جَلَّ
جَلاَلُهُ رَبِّيْ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ نَبِيِّيْ،
وَاْلإِسْلاَمُ دِيْنِيْ، وَالْقُرْآنُ كِتَابِيْ، وَالْكَعْبَةُ
قِبْلَتِيْ، وَأَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طِالِبٍ
إِمَامِيْ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمُجْتَبَى إِمَامِيْ،
وَالْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الشَّهِيْدُ بِكَرْبَلاَءَ إِمَامِيْ،
وَعَلِيٌّ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ إِمَامِيْ، وَمُحَمَّدٌ بَاقِرُ عِلْمِ
النَّبِيِّيْنَ إِمَامِيْ، وَجَعْفَرٌ الصَّادِقُ إِمَامِيْ، وَمُوْسَى
الْكَاظِمُ إِمَامِيْ، وَعَلِيٌّ الرِّضَا إِمَامِيْ، وَمُحَمَّدٌ
الْجَوَادُ إِمَامِيْ، وَعَلِيٌّ الْهَادِي إِمَامِيْ، وَالْحَسَنُ
الْعَسْكَرِيُّ إِمَامِيْ، وَالْحُجَّةُ الْمُنْتَظَرُ إِمَامِيْ،
هَؤُلاَءِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَئِمَّتِيْ
وَسَادَتِيْ وَقَادَتِيْ وَشُفَعَآئِيْ، بِهِمْ أَتَوَلَّى، وَمِنْ
أَعْدَائِهِمْ أَتَبَرَّأُ فِيْ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، ثُمَّ إِعْلَمْ
يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنْ ... إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى نِعْمَ
الرَّبِّ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ نِعْمَ
الرَّسُوْلِ، وَأَنَّ أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِيَّ بْنَ أَبِيْ
طَالِبٍ وَأَوْلاَدِهِ اْلأَئِمَّةَ اْلأَحَدَ عَشَرَ نِعْمَ اْلأَئِمَّةِ،
وَأَنَّ مَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ حَقٌّ،
وَأَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ، وَسُؤَالَ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ فِيْ الْقَبْرِ
حَقٌّ، وَالْبَعْثَ حَقٌّ، وَالنُّشُوْرَ حَقٌّ، وَالصِّرَاطَ حَقٌّ،
وَالْمِيْزَانَ حَقٌّ، وَتَطَايُرَ الْكُتُبِ حَقٌّ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ،
وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيْهَا، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ
مَنْ فِيْ الْقُبُوْرِ، أَفَهِمْتَ يَا فُلاَنُ؟
Dalam hadis disebutkan bahwa mayat menjawab:
بَلَى، فَهِمْتُ!
ثَبَّتَكَ
اللهُ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ، هَدَاكَ اللهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ،
عَرَّفَ اللهُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ أَوْلِيَآئِكَ فِي مُسْتَقَرٍّ مِنْ
رَحْمَتِكَ، اللّهُمَّ جَافِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَأَصْعَدْ
بِرُوْحِهِ
إِلَيْكَ، وَلَقِّهِ مِنْكَ بُرْهَانًا، اللّهُمَّ عَفْوَكَ، عَفْوَكَ.
BAB 9 – ZIARAH KUBUR
Telah
sepakat kalangan kaum Muslim tentang ziarah kubur. Hal itu dapat dibaca
dan ditelaah dalam buku-buku fikih maupun hadis. Perlu kiranya
disebutkan di sini beberapa hadis tentangnya. Sebelum itu, kami kutipkan
fatwa para imam keempat mazhab, seperti dijelaskan dalam kitab al-Fiqh ‘alal Madzâhibil ‘Arba’ah
sebagai berikut: “Ziarah kubur adalah perbuatan yang dianjurkan
(mandûb) guna menimbulkan kesadaran hati dan mengingatkan kepada
akhirat. Lebih dianjurkan pada hari Jumat serta sehari sebelumnya dan
sehari sesudahnya. Seorang peziarah seyogianya menyibukkan di-rinya
dengan doa, tadharru’ (berdoa dengan khusyuk dan merendah hati),
mengingat-ingat mereka yang telah mati serta membaca al-Qur`an (yang
pahala bacaannya) untuk mereka. Yang demikian itu bermanfaat untuk si
mayit menurut pendapat lebih sahih.” [Jilid I, hal. 424-425 pada akhir
bab Shalat]
Riwayat-riwayat hadis mengenai hal itu amat banyak, seperti telah dihimpun oleh al-‘Allâmah as-Samhûdi dalam kitabnya Wafâ` ul-Wafâ`; Mîzânul Hikmah, jilid IV, hal. 295-313, karya al-Muhammadiy ar-Riy Syahrî; Is’âful Muslimîna wal Muslimâti bi Jawâzil Qirâ`ati wa Wushûlu tsawâbuha ilal Amwât(i), karya al-Ustadz al-‘Allâmah Muhammad al-‘Arabi bin at-Tayânî bin al-Husain al-Wâhidi al-Maghribî, Guru Besar di Madrasah al-Fallâh, Makkah al-Mukarramah; dan selainnya itu. Berikut ini di antaranya:
1. Nabi
saw bersabda: “Aku pernah melarang kamu menziarahi kuburan, namun kini
telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kuburan ibundanya. Maka
berziarahlah kamu, sebab hal itu mengingatkan kepada akhirat.”
2. Sabda
beliau saw: “Ziarahilah orang-orang mati di antara kamu, karena mereka
merasa senang dengan kehadiranmu. Hendaklah seseorang memohon hajatnya
ketika menziarahi kubur ayah dan ibunya setelah mendoakan keduanya.”
3. Dawud
ar-Riqqi meriwayatkan berkata: “Kutanyakan pada Abu Abdillah as tentang
seseorang yang menziarahi kubur ayahnya, kerabat maupun selainnya.
Apakah amalan mereka itu bermanfaat?” Beliau berkata: “Ya, sungguh
amalan mereka yang demikian itu sampai kepada si mayat. Seperti orang
yang mengirim hadiah kepada Anda, yang dengannya Anda merasa senang.”
4. Syaikh
Ja’far bin Muhammad Qulawayh al-Qummi meriwayatkan dari Umar bin Utsman
ar-Razi, berkata: “Aku pernah mendengar Abul Hasan Imam Musa bin Ja’far
ash-Shadiq as berkata: ‘Barang siapa yang tidak mampu menziarahiku,
maka ziarahilah kaum saleh yang berwilayah kepadaku, baginya akan
ditetapkan pahalanya sama seperti menziarahi kami. Barang siapa yang
tidak mampu bersilaturhmi dengan kami, maka bersilaturhmilah dengan
orang-orang saleh yang berwilayah kepada kami, baginya akan ditetapkan
pahala yang sama seperti bersilaturhmi dengan kami.’”
5. Juga,
diriwayatkan dengan sanad sahih, dari Muhammad bin Ahmad bin Yahya
al-Asy’ari, berkata: “Ketika aku di Fayd (nama daerah menuju Makkah),
aku berjalan bersama Ali bin Bilal menuju kubur Muhammad bin Ismail bin
Buzay’in, berkata, ‘Berkata Ali bin Bilal kepadaku, ‘Berkata Muhammad
bin Ismail bin Buzay’in kepadaku, dari ar-Ridha as berkata: ‘Barang
siapa mendatangi kubur saudaranya Mukmin, kemudian meletakkan (telapak)
tangannya pada kuburnya seraya membaca surah al-Qadr (7 kali), maka si
mayat dihindarkan dari rasa takut yang amat sangat di hari kiamat.’”
Hadis lain serupa itu, tetapi ditambahkan: ‘Dengan menghadap ke arah
kiblat.’
6. Diriwayatkan
dengan sanad sahih, dari Abdillah bin Sanan berkata: “Kutanyakan kepada
ash-Shadiq as, ‘Bagaimana cara mengucapkan salam kepada ahli kubur?’
‘Ya, Anda ucapkan:
السَّلاَمُ
عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ أَنْتُمْ
لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ إِنْ شَآءَ اللهُ بِكُم لاَحِقُوْنَ.
Selamat
dan sejahtera untuk kalian, wahai penghuni kubur, kaum Mukmin maupun
Muslim, kalian telah mendahului kami, dan Insya Allah kami juga akan
menyusulmu.
7. Al-Husain (bin Ali bin Abi Thalib) as berkata: “Barang siapa yang memasuki pekuburan, hendaklah mengucap-kan:
اللّهُمَّ
رَبَّ هذِهِ اْلأَرْوَاحِ الْفَانِيَةِ، وَاْلأَجْسَادِ الْبَالِيَةِ،
وَالْعِظَامِ النَّاخِرَةِ الَّتِيْ خَرَجَتْ مِنَ الدُّنْيَا وَهِيَ بِكَ
مُؤْمِنَةٌ، أَدْخِلْ عَلَيْهِمْ رَوْحًا مِنْكَ وَسَلاَمًا مِنَّا.
Ya
Allah, Tuhan ruh-ruh yang fana ini, dan jasad-jasad yang rusak serta
tulang-belulang yang hancur lumat, yang keluar dari dunia, sementara ia
kepada-Mu sebagai Mukmin, masukkanlah ia pada kelompok mereka yang
memperoleh ketenteraman dari-Mu dan keselamatan dari kami.
Lantas Allah telah menetapkan kebaikan baginya sebanyak makhluk (semen-jak) bani Adam hingga hari kiamat.
8. Imam Ali as berkata: “Barang siapa memasuki pekuburan ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، يَا أَهْلَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ،
بِحَقِّ
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، كَيْفَ وَجَدْتُمْ قَوْلَ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ، مِنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، يَا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، بِحَقِّ
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، إِغْفِرْ لِمَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ،
وَاحْشُرْنَا فِيْ زُمْرَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ، عَلِيٌّ وَلِيُّ اللهِ.
Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pe-nyayang, Salam sejahtera
atas penghuni kubur (yang mengikrarkan), tiada Tuhan selain Allah, wahai
penghuni kubur (yang mengikrarkan), tiada Tuhan selain Allah, demi
kebenaran tiada Tuhan selain Allah, bagaimana kalian mendapatkan ucapan:
tiada Tuhan selain Allah, dari tiada Tuhan selain Allah, wahai Tiada
Tuhan selain Allah, demi kebenaran tiada Tuhan selain Allah, ampunilah
siapa saja (yang mengikrarkan), tiada Tuhan selain Allah, himpunlah kami
ke dalam kelompok yang mengucapkan: tiada Tuhan selain Allah, Muhammad
adalah utusan Allah dan Ali wali Allah.
Allah
Swt telah melimpahkan pahala baginya selama lima puluh tahun, dan
dihapuskan kesalahan darinya dan kedua orang tuanya selama lima puluh
tahun.
9. Dalam riwayat lain: Ucapan yang paling baik ketika melewati pukuburan dan berhenti sejenak adalah:
اللّهُمَّ وَلِّهِمْ مَا تَوَلَّواْ، واحْشُرْهُمْ مَعَ مَنْ أَحَبُّوْا.
Ya Allah, kasihanilah mereka, sebagaimana yang mereka kasihi, himpunlah mereka bersama orang yang mereka cintai.
10. Nabi
saw bersabda: “Barang siapa menziarahi pekuburan dan membaca surah
Yâsîn, maka Allah Ta’ala akan meringankan azab (kubur) si mayat, dan
bagi pembacanya memperoleh kebaikan sebanyak bilangan mayat.
BAB 9 – LAMPIRAN
Ketika Mendengar Kematian
بِسْمِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ،
وَاكْفِنَا طُوْلَ اْلأَمَلِ، وَقَصِّرْهُ عَنَّا بِصِدْقِ الْعَمَلِ،
حَتَّى لاَ نُؤَمِّلَ اسْتِتْمَامَ سَاعَةٍ بَعْدَ سَاعَةٍ، وَلاَ
اسْتِيْفَاءَ يَوْمٍ بَعْدَ يَوْمٍ، وَلاَ اتِّصَالَ نَفَسٍ بِنَفَسٍ،
وَلاَ لُحُوْقَ قَدَمٍ بِقَدَمٍ، وَسَلِّمْنَا مِنْ غُرُوْرِهِ، وَآمِنَّا
مِنْ شُرُوْرِهِ، وَأَنْصِبِ الْمَوْتَ بَيْنَ أَيْدِيْنَا نَصْبًا، وَلاَ
تَجْعَلْ ذِكْرَنَا لَهُ غِبًّا، وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ صَالِحِ
اْلأَعْمَالِ عَمَلاً، نَسْتَبْطِئُ مَعَهُ الْمَصِيْرَ إِلَيْكَ،
وَنَحْرِصُ لَهُ عَلَى وَشْكِ اللَّحَاقِ بِكَ، حَتَّى يَكُوْنَ الْمَوْتُ
مَأْنَسَنَا الَّذِيْ نَأْنَسُ بِهِ، وَمَأْلَفَنَا الَّذِيْ نَشْتَاقُ
إِلَيْهِ، وَحَآمَّتَنَا الَّتِيْ نُحِبُّ الدُّنُوَّ مِنْهَا، فَإِذَا
أَوْرَدْتَهُ عَلَيْنَا، وَأَنْزَلْتَهُ بِنَا، فَأَسْعِدْنَا بِهِ
زَائِرًا، وَآنِسْنَا بِهِ قَادِمًا، وَلاَ تُشْقِنَا بِضِيَافَتِهِ، وَلاَ
تُخْزِنَا بِزِيَارَتِهِ، وَاجْعَلْهُ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ
مَغْفِرَتِكَ، وَمِفْتَاحًا مِنْ مَفَاتِيْحِ رَحْمَتِكَ، أَمِتْنَا
مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَآلِّيْنَ، طَائِعِيْنَ غَيْرَ مُسْتَكْرِهِيْنَ،
تَائِبِيْنَ غَيْرَ عَاصِيْنَ وَلاَ مُصِرِّيْنَ، يَا ضَامِنَ جَزَاءِ
الْمُحْسِنِيْنَ، وَمُسْتَصْلِحَ عَمَلِ الْمُفْسِدِيْنَ.
Dua Kalimat Syahadat
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi, tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Doa al-‘Adîlah
اللّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَدِيْلَةِ عِنْدَ الْمَوْتِ، اللّهُمَّ
يَا أَرْحَمَ الَّراحِمِيْنَ، إِنِّيْ قَدْ أَوْدَعْتُكَ يَقِيْنِيْ هذَا
وَثَبَاتُ دِيْنِيْ، وَأَنْتَ خَيْرُ مُسْتَوْدَعٍ، وَقَدْ أَمَرْتَنَا
بِحِفْظِ الْوَدَائِعِ فَرُدَّهُ عَلَيَّ وَقْتَ حُضُوْرِ مَوْتِيْ
Ya
Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari mengalami ‘adîlah ketika maut
hendak menjemputku. Allahumma, wahai Yang Maha Pengasih dari semua yang
mengasihi, sesungguhnya aku telah menitipkan keyakinanku ini dan
ketetapan agamaku kepada-Mu, sedangkan Engkau sebaik-baik tempat
penitipan. Dan Engkau telah memerintahkan kami untuk menjaga titipan,
maka kembalikan titipan itu kepadaku di saat kehadiran mautku.
اللّهُمَّ
اغْفِرْ لِيَ الْكَثِيْرَ مِنْ مَعَاصِيْكَ، وَاقْبَلْ مِنِّي الْيَسِيْرَ
مِنْ طَاعَتِكَ، يَا مَنْ يَقْبَلُ الْيَسِيْرَ، وَيَعْفُوْ عَنِ
الْكَثِيْرَ، اِقْبَلْ مِنِّي الْيَسِيْرَ، وَاعْفُ عَنِّي الْكَثِيْرَ،
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَفُوُّ الْغَفُوْرُ، اَللّهُمَّ ارْحَمْنِي فَإِنَّكَ
رَحِيْمٌ
والحمد لله ربّ العالَمِيْنَ
*
Tidak diperbolehkan menggunakan kâfûr-barus yang telah mengalami proses
kimia, seperti barus yang digunakan untuk pengawet pakaian dalam almari
dan sebagainya. (penyusun)
[1] al-Kafir
ialah orang yang tidak meyakini ke-Esa-an Allah, Kenabian, atau Hari
Akhir (Kiamat). Atau salah satu yang meliputi berikut ini: Orang yang
mengingkari wujud Allah; Menjadikan Allah sebagai sekutu; Tidak
mempercayai kenabian Nabi Muhammad saw; Orang yang meragukan hal-hal
tersebut di atas; Orang yang mengingkari perkara yang sudah jelas dalam
agama sehingga ia mengingkari Allah dan Rasul-Nya.
al-Kafir dua macam: 1. Kafir Harbî, yaitu orang kafir yang hidup dalam situasi perang melawan Muslimin. 2. Kafir Dzimmî,
yaitu Ahli Kitab masa sekarang ini yang hidup di Negara Muslimin di
mana mereka harus mengikuti ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Pemerintahan Islam untuk memperoleh jaminan hidup di
negara tersebut.
[2] Murtad Fitrî,
yaitu seseorang yang dilahirkan dari Bapak atau Ibu, atau dari kedua
orang tuanya yang Muslim dan menjadi Muslim kemudian beralih ke agama
non-Muslim (Kafir). Murtad Millî, yaitu seseorang yang dilahirkan
dari Bapak dan Ibu yang non-Muslim kemudian memeluk agama Islam dan
beberapa saat kemudian beralih lagi menjadi non-Muslim (Kafir).
[3] Nashibî
ialah orang yang memusuhi Ahlubait Nabi saw (keluarga Nabi saw).
Sedangkan khawarij yaitu kelompok Muslim masa lalu yang memerangi Amirul
Mukmini Ali bin Abi Thalib as.
0 komentar:
Posting Komentar